08 February 2010

MEMBUMIKAN FALSAFAH SUNDA "SAREUNDEUK SAIGEL SABOBOT SAPIHANEAN"

Memang sesuatu yang lumrah dan wajar ketika setiap orang mempunyai mimpi harapan dan jalan apapun yang dilakukan untuk mncapai tujuan itu. Dikatakan wajar karena pada fitrahnya manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia diberikan nilai plus dari makhluk Tuhan yang lainnya. Nilai plus itu pada otak dan hati nya. Otak menuntut manusia untuk terus menggali apa yang terdapat dalam dirinya dan pada alam, (ilmu pengetahuan). hati mengimbangi jalannya otak agar apa yang dipikirkannya dan kemudian digerakkannya melalui tingkahlaku itu harus sesuai dengan apa yang menjadi norma-norma di masyarakatnya dan kaidah-kaidah hukum agama yang mengaturnya.
Namun kadang kita sering terjebak pada tipu daya otak kita sendiri, kadang merasa paling pintar dari satu sisi, tetapi tidak melihat kekurangan kita dari sisi lainnya. Pada kasus ini, peran hati sering tidak kita optimalkan sebagaimana mestinya. Merengkuh ketidakberdayaan kita, itulah sesungguhnya yang harus kita tanamkan dalam hati ini. Dengan kecintaan tentunya. Ya, akhirnya kata cinta yang menjadi kunci memaksimalkan potensi otak maupun hati kita.
Kalau dikisahkan; seorang murid Abul Said Abul Khair pernah berkata, “Guru, di tempat lain ada orang yang bisa terbang?” Abul Khair menjawab, “Tidak aneh. Lalat juga bisa terbang.” “Guru, disana ada orang yang bisa berjalan diatas air,” muridnya berkata lagi. Abul Khair berkata lagi,”Itu juga tak aneh, katak pun bisa berjalan diatas air.” Muridnya berujar lagi, “Guru di negeri itu ada orang yang bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan” Abul Khair menjawab, “Yang paling pintar seperti itu adalah syetan. Ia bisa berada di hati jutaan manusia dalam waktu yang sama”. Murid-muridnya bingung dan bertanya, “Kalau begitu Guru, bagaimana cara paling cepat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.?” Ternyata murid-muridnya beranggapan bahwa orang yang dekat dengan Allah SWT. Itu adalah orang yang memiliki berbagai keajaiban dan kekuatan supranatural. Abul Khair menjawab, ”Banyak jalan untuk mendekati Tuhan, sebanyak bilangan napas para pencari Tuhan. Tetapi, jalan yang paling dekat kepada Allah adalah membahagiakan orang lain di sekitarmu. Engkau berkhidmat kepada mereka dan Pemimpinmu.”
Dari kisah diatas, yang perlu digaris bawahi adalah kalimat terakhirnya, “Engkau berkhidmat kepada mereka dan Pemimpinmu”. Penekanannya adalah sejauhmana kemampuan otak kita ini dalam menerima apapun yang menjadi pendapat sumbangsih pemikiran orang lain, sehingga menimbulkan kekaguman dan penghargaan, walau dirasa pendapat orang tersebut tidak sesuai dengan prinsip kita. Peran hati lah yang perlu ditumbuhkan disini. Begitupun dalam hal ini, terhadap pemimpin kita, pemimpin yang mempunyai kebijakan terhadap nasib rakyat yang dipimpinnya. Jika kebijakannya dirasa menurut hati kita sesuai dengan apa yang dicita-citakan tanpa melanggar apa yang menjadi role of the game-nya, baik menurut hukum ketatanegaraan maupun hukum Qur’an. Apalagi kebijakan dan program yang telah dijalankannya itu sudah jelas wujudnya di hadapan kita, maka sudah selayaknya kita ikut mendukung dan menanamkan sebuah falsafah kasundaan, “Sareundek saigel sabobot sapihanean” agar kedigjayaan di kabupaten ini terwujud.
Bahasanya juga “sa” dalam bahasa sunda “sa” itu artinya sudah menjadi satu kesatuan. Satu kesatuan dari cara berpikir, ucapan, dan tingkahlaku antara pemimpin dan rakyatnya. “geus teu bisa dilepaskeun panon jeung kiceupna, ceuli jeung danguna, irung jeung angseu’ na, letah jeung ucapna, hate jeung ka’ikhlasanana.” (H. Dedi Mulyadi, dalam sambutan acara Tabligh Akbar sebuah Yayasan di Kelurahan Cipaisan). Untuk itu, diperlukan kebersediaan dan keikhlasan kita dalam menerima dan menjalankan apa yang sudah menjadi program pembangunannya. Begitupun, tentunya Pemimpin itu sendiri seyogyanya siap membuka hati lebar dalam menerima kritik dan saran dari rakyatnya. Hilangkan apa yang menjadi penyakit hati kita, hilangkan ego kepintaran otak kita.
Namun pernyataan ini bukan berarti kemudian kita hanya berijtihad sama dengan pemimpin kita, atau kita taklid yang tanpa makna/taklid buta. Ataupun kita kemudian mengIdolakan Pemimpin itu, seperti halnya seorang Suparman alias Ayi Beutik sang Panglima Viking, yang saking cintanya kepada PERSIB, nama anaknyapun menjadi JAYALAH PERSIBKU, atau anak keduanya, USAB PERNING (bahasa gaul tempo dulu, yang artinya URANG PERSIB). Karena apa yang dialami Suparman itu berbeda dengan sareundeuk, saigel sabobot sapihanenan-nya kita dengan Pemimpin yang saat ini menjabat. Kalaupun dikemudian hari pemimpin kita terbukti salah secara hukum, maka jangankan orang yang benci terhadap pemimpin itu sejak dulu, sayapun sebagai dokumentator Bupati yang notabene pemimpin di kabupaten ini, mungkin saya paling depan untuk menuntutnya turun sebagai Bupati. [soem]