23 April 2013

Saya Cemburu Pada “Emi” (Bagian-1)


Saya Cemburu Pada “Emi” (Bagian-1)

Sebuah judul yang Idiom, atas realita dan nilai filosofi historis pembangunan yang dilakukan kang dedi mulyadi sebagai bupati di purwakarta. Kata “cemburu” pada judul diatas bukan mengandung arti negatif atas sikap penulis terhadap “Emi” sebagai sebutan akrab kang dedi terhadap Ibundanya Almarhumah Ibu Carsiti. Lalu ada hubungan apa antara Penulis sebagai tim dokumentasi bupati, dengan Almarhumah “Emi” Carsiti atas pembangunan selama ini yang dilakukan kang dedi mulyadi dalam memangku jabatannya sebagi bupati purwakarta. Sehingga penulis menaruh perhatian pada diri “Emi” Carsiti yang menyimpulkan mengidiomkan sikap penulis sebagai rasa “Cemburu” terhadapnya. Alhasil dari sikap “Cemburu” penulis ini, diharapkan memberikan ruh ghirah (semangat) bagi penulis termasuk para pembaca, agar bisa seperti figur “Emi” dalam pikirannya bupati. Figur “Emi” dalam hal ini adalah sikap dan pikiran-pikiran “Emi” dalam membesarkan dan menghidupi 9 anaknya termasuk bupati, walau dalam kondisi ekonomi keluarga yang serba terbatas. Mungkin sikap dan pikiran “Emi” inilah yang terus membekas dalam ingatan kang dedi, yang atas dasar itu menjadi sebuah spirit kang dedi dalam membangun di Kabupaten Purwakarta tercinta ini.

Kesimpulan dari pengambilan judul diatas, tak terlepas dari proses perjalanan pemikiran kang dedi mulyadi dalam memaknai pembangunan yang dilakukannya selama ini, yang merupakan pengejawantahan dari sikap dan pemikirannya atas sosok Ibundanya “Emi” Carsiti. Bukan hanya berhenti pada pemikiran saja, berbagai langkah yang diambil terkait mewujudkan pembangunan yang dilakukannya di Purwakarta, ternyata banyak belajar dari figur sang Ibunda tercintanya “Emi” Carsiti.

Pelajaran Pertama dari Emi
Salahsatu contoh kongkrit dari langkah pembangunan yang merupakan manifestasi “Emi” Carsiti yang dilakukannya adalah Langkah kebijakan paling awal yakni reformasi pengelolaan keuangan APBD Purwakarta yang ada tanpa memperhitungkan Pendapatan. Artinya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) bukan menjadi tolok ukur pertama dalam membantu keuangan daerah yang berkaitan dengan mengeluarkan kebijakan pembangunan untuk rakyat. Tetapi kondisi APBD secara umum yang ada pada saat itu, dilakukan reformasi anggarannya. Reformasi anggaran tersebut dengan lebih banyak melakukan pemangkasan-pemangkasan anggaran pada pos-pos anggaran untuk belanja kantor dan belanja pegawai, sementara hasil pemangkasan pada pos anggaran belanja kantor dan belanja pegawai itu, dimasukan pada pos belanja publik.

Berbagai pemangkasan anggaran pada belanja kantor dan pegawai bisa kita lihat pada kode rekening untuk pengadaan Alat Tulis Kantor yang dipangkas sekecil mungkin, belanja kertas, belanja untuk bayar telephon, membayar listrik di sekretariat daerah, belanja untuk membayar media cetak koran dan elektronik dipangkas, belanja untuk operasional kendaraan dinas, dan berbagai belanja kantor yang tidak terlalu penting manfaatnya secara keseluruhan dipangkas sekecil mungkin. Kemudian pada pos anggaran belanja dinas pegawai, termasuk perjalanan dinas dipotong, honorarium kegiatan ditiadakan, dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya pelatihan kepegawaian pun tak lepas untuk dipangkas anggarannya. Seluruhnya hasil pemangkasan pada pos anggaran belanja kantor dan anggaran belanja pegawai itu, didapatkan anggaran yang maksimal untuk dimasukan pada belanja publik. Kesimpulan pada langkah kebijakan awal ini, adalah seberapa pun anggaran yang ada, seyogyanya dimanfaatkan pada prioritas pembangunan yang memang dibutuhkan untuk rakyat.

Inilah filosofi pembangunan pertama kali yang kang dedi dapatkan dari Ibundanya. Seperti cerita masa kecilnya yang sempat ia sampaikan dalam beberapa kesempatan dan itu penulis dokumentasikan dengan baik. salahsatunya adalah kesempatan memberikan sambutan pada acara maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar Ibu-ibu Pengajian AlHidayah Kecamatan Bojong pada musim maulid 1433 H (tahun 2011). Dalam kesempatan itu, kang dedi membeberkan pengalaman masa kecilnya yang syarat dengan nilai kultur masyarakat dan berkaitan dengan kebijakan yang diambilnya dalam mengelola keuangan pemerintah daerah. Ceritanya, pernah suatu ketika beliau yang anak bungsu di keluarganya ini, yang saat itu masih berusia 5 tahun, diajak Ibundanya pergi ke undangan pernikahan tetangga. Suasana tempat hajatan tentu sangat riuh dengan para undangan termasuk adanya beberapa pedagang jajanan anak. Dedi kecil menangis dan menginginkan balon saat melihat balon dijajakan pedagangnya. Ibundanya tak langsung marah, mensiasati anaknya agar mengurungkan niatnya untuk membeli balon dengan beralasan bahwa nanti penjual balon masih ada di pertigaan jalan. Lalu dedi kecilpun menuruti perkataan Emi nya, berharap dapat dibelikan balon di pertigaan jalan nanti. Lagi-lagi dirinya harus mendapatkan kekecewaan, atas apa yang dijanjikan Emi nya saat berada di pertigaan jalan dan sepanjang jalan menuju rumahnya. Dimana Ibundanya bukan membelikan dedi balon, malah berkelit mencari-cari alasan agar dedi urung untuk memiliki balon. Yang namanya seorang anak kecil, dedi pun tak serta merta menerima alasan yang dilontarkan Emi nya. Tangisan pun menggelegar tatkala sampai rumah, balon yang dijanjikan, tak kunjung dibelikan.

Dari kisah ini, dirinya paham betul maksud Ibundanya, dan yang paling berkesan dalam ingatannya saat Ibundanya dengan sabar menasehati dedi kecil yang sedang menangis itu dengan argumentasi yang lugas, “Ded, sanes Emi alim meser balon. Upami artos ieu dipeserkeun balon, engkin si Teteh moal tiasa sakola (Ded, bukannya Emi tidak mau beli balon. Kalau uang ini dibelikan balon, nanti kakak kamu tidak bisa sekolah)”, sederhana dan tentu tajam maknanya.

Hingga berkali-kali, dari satu panggung ke panggung acara lainnya, kang dedi selalu memberikan spirit pengelolaan keuangan di Kabupaten Purwakarta dengan kisah masa kecilnya ini. Artinya betapa pentingnya pengalaman itu bagi dirinya dalam mengelola anggaran di Pemkab Purwakarta. spirit tersebut, adalah mengelola anggaran Pemerintah Daerah tak ubahnya dengan mengelola keuangan rumahtangga dalam sebuah keluarga. Prinsip yang paling penting adalah, pengelolaan keuangan itu harus bisa mementingkan dulu kebutuhan setiap anggota keluarga, dengan berdasar pada skala prioritas kepentingannya. Sekiranya pengeluaran untuk sesuatu itu tidak terlalu penting, maka cukuplah pengeluaran itu untuk hal-hal yang lebih penting terlebih dahulu.

Pada cerita ini pula, Kang Dedi memaknai betapa pentingnya pengorbanan seorang pemimpin suatu keluarga dalam hal ini sosok Ibu, agar para anggota keluarga (anak-anak)-nya dapat menatap masa depannya dengan semangat dan potensi dari diri anak-anak itu, tanpa harus memikirkan beban resiko ekonomi yang dihadapinya. Biarkanlah pemimpin yang menanggung seluruh resiko biaya ekonomi itu, asalkan anggota keluarganya, asalkan rakyatnya dapat hidup tenang, damai tanpa takut suram masa depannya. Pemimpin harus bisa seperti figur Ibu, Emi yang selalu mendahulukan makan anak-anaknya, walau dirinya harus gigit jari melihat lahapnya anak-anak makan. Ibu yang harus selektif setiap pengeluaran yang dibutuhkan dalam keluarga, walau pemasukan dari sang ayah tak terlalu besar. Pada kondisi yang demikian itu, maka dibutuhkan figure Ibu yang harus menyebarkan rasa Cinta pada anggota keluarganya. Rasa cinta yang menumbuhkan sikap selektif dalam pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan yang lebih penting.

Pelajaran Kedua Dari Emi
Masih tentang cerita singkat kang dedi pada masa kecilnya itu. Ternyata, bagi dirinya cerita itu menyimpan rasa cinta yang amat mendalam dari sosok Emi. Rasa cinta Emi yang memberikan pelajaran berharga, bahwa Cinta sejatinya bukan untuk memanjakan objek yang kita cintai. Cinta bukan sekedar memberikan balon agar orang yang kita cintai bisa menghapus air matanya. Tetapi cinta seyogyanya harus memberikan penghargaan pada proses, cinta dihadirkan pada saat-saat sulit sekalipun. Emi yang begitu sangat mencintai 9 anaknya, tak serta merta mencurahkan cintanya dengan memanjakan anak-anaknya. Cinta Emi tak serta merta dengan membelikan balon agar dedi kecil berhenti menangis.

Tapi cinta Emi, adalah anugerah yang paling berharga bagi kang dedi dalam ikhtiar dan proses yang beliau lakukan sejak kecil hingga saat ini. Ikhtiar dirinya untuk menggembala domba dari cincin yang dijual Ibundanya. Dan cinta Emi pun hadir dalam proses pembangunan yang sedang dilakukannya di Purwakarta tercinta ini. Cinta Emi yang hadir saat ini, adalah pelajaran menghargai proses. Kebijakan perlindungan jaminan asuransi kesehatan dan kematian bagi warga di Purwakarta, adalah salahsatu Cinta Emi menghargai proses anak-anaknya. Pun begitu, kang dedi sangat mencintai warganya dengan mengekspresikan cintanya melalui kebijakan perlindungan asuransi kesehatan dan kematian bagi warga. Cinta kang dedi kepada warganya bukan dengan memanjakan warga melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan semacamnya misalkan. Karena jika yang dilakukan itu, berarti kang dedi tidak menghargai ikhtiar dan proses warga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang ada, warga dimanjakan dengan nilai uang yang diberikan langsung. Lambat laun, etos kerja warga akan terkikis habis menjadi kemalasan-kemalasan, sebab nilai ikhtiarnya sudah digantikan dengan bantuan langsung tunai dan semacamnya. Inilah cinta yang salah kaprah menurutnya, dan tidak sesuai dengan cinta Emi yang beliau dapatkan.

Sementara jika yang diambil adalah kebijakan asuransi perlindungan kesehatan dan kematian bagi warga, disini kang dedi sangat menghargai proses yang dilakukan warganya. Artinya, cinta kang dedi tidak serta merta mengintervensi ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan rakyat. Silahkan rakyat menikmati proses bekerjanya dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga di keluarganya, sementara pemerintah memberikan kenyamanan lebih, bagi rakyatnya dalam bekerja dengan jaminan kesehatan dan kematiannya. Rakyat tidak lagi dihantui rasa takut akan sakit dan mati, karena 2 hal ini adalah diluar jangkauan manusia. Yang penting bagi kita adalah harus terus bekerja dan berproses. Sekiranya saat musibah datang, sakit atau meninggal, keluarga dapat terbantukan dengan biaya perawatan dan pengurusan jenazah melalui klaim asuransi dari program perlindungan ini.

***Bersambung***

13 March 2013

"Si Bedas" Yang Ikhlas


“Si Bedas” Yang Ikhlas

Kisah yang akan kita angkat kali ini mungkin tidak begitu menjadi sesuatu yang “wah” bagi para pembaca, karena sepintas cerita ini adalah pengalaman Bupati Purwakarta kang H. Dedi Mulyadi, SH pada satu moment kegiatan. Untuk itu penulis ingin mencoba memberikan penjelasan pada secarik kisah 20 menit bupati pada moment kegiatan ini, dengan membeberkan keterkaitan kisah 20 menit itu dengan kisah-kisah sebelumnya. Sehingga cerita ini, ternyata memberikan pelajaran berharga bagi kita untuk meneladaninya. Terlepas pada jabatannya sebagai seorang Bupati, sosok Dedi Mulyadi benar-benar peka terhadap perasaan dan kondisi psikologis seseorang. Kesimpulan ini penulis buat atas beberapa kisah hingga runtutan kisah yang saling melengkapinya, sehingga subjektifitas pembaca memandang figur dedi mulyadi bisa menjadi objektif, sebagaimana objektifnya penulis alami dari tahun ke tahun (sejak 2009) ketika sejak awal penulis mengikuti berbagai kegiatan beliau sebagaimana tugas penulis sebagai tim documenter Bupati Purwakarta.

Kita awali kisah ini dari perjalanan Bupati Purwakarta mengikuti acara Maulid Nabi Muhammad SAW 1433 H, tepatnya sabtu malam (04 Februari 2012)  di Desa Cirangkong Kecamatan Cibatu. Sebagai seorang Bupati tentu dirinya wajib untuk menghadiri undangan berbagai event yang digelar oleh warganya, termasuk acara sabtu malam itu. Awalnya tak ada yang aneh saat datang ke acara itu, hanya saja, memang Bupati datang paling malam sekira pukul 23.00 WIB dimana saat itu sedang berlangsung acara inti yakni tausiyah Maulid Nabi. Kedatangan bupati yang larut malam bukan tanpa alasan, sebab beliau sebelumnya telah menjelajah di tiga tempat berbeda dengan acara yang sama, yakni di Masjid Alhikmah Desa Ciwangi Bungursari, PonPes Ar Rosyadiyah Desa Bungursari, dan di Masjid Jamie At Taubah RW 09 Perum Griya Ciwangi Desa Ciwangi Kecamatan Bungursari. Kegiatan malam hari seperti itu, di bulan Maulid ini sudah menjadi kebiasaan bagi dirinya, karena hal ini beliau manfaatkan untuk memberikan sambutan tentang program pembangunan purwakarta, termasuk ketika sambutan di desa cirangkong tersebut.

Sesaat setelah tausyiah mauled selesai dibawakan penceramah, selanjutnya MC mempersilakan bupati untuk memberikan sambutannya. Bupati pun kemudian beranjak dari tempat duduk dan memulai sambutan. Seperti di tiga tempat sebelumnya, tak ada yang beda apa yang diutarakan bupati kala itu, penulis pun yang sedang standby merecord dan memegangi handycam tak begitu focus pada apa yang disampaikannya. Namun, baru saja bupati memberikan sambutan pada menit ke tiga, seperti yang tertera di timer handycam penulis, bupati dengan gaya bahasanya yang cukup dapat dimengerti kalangan masyarakat dan sesekali bercanda itu, langsung menunjuk seseorang yang berada tepat disamping penulis sambil berucap,”Kumaha domba geus anakan?”, tanpa jeda setelah pertanyaan dilontarkan bupati, sumber suara dari orang disamping penulis menjawab dengan lantang,”Geus anakan pa”. kejadian itu menghentakkan pikiran penulis, pertanyaan pun muncul dibenak penulis, dari pertanyaan siapa orang yang dimaksud, apakah bupati pernah bertemu sebelumnya dengan orang tersebut, hingga keterkaitan apa sehingga bupati menyapa orang itu dengan pertanyaan yang seolah-olah menanyakan sesuatu.

Pertanyaan yang menumpuk dipikiran penulispun sekejap hilang, saat orang yang ditanya menghampiri bupati diatas panggung. Ya, ternyata orang dimaksud adalah “si Bedas”, seseorang yang pernah dipanggil bupati keatas panggung saat acara gempungan di desa cirangkong 6 bulan kebelakang. Penulis hanya bisa menyebutkan nama samarannya “si Bedas”, karena sampai saat ini nama asli orang tersebut benar-benar lupa untuk diingat penulis. Nama “si bedas” masih begitu akrab untuk penulis, sebab setelah kegiatan gempungan itu, penulis ditugaskan bupati untuk membuat scenario cerita film documenter terkait orang tersebut. Dan bupati pun memberikan judul film itu dengan judul “si Bedas”, menceritakan kehidupan dia sesuai kisahnya yang diceritakan saat dipanggil bupati di acara gempungan itu. “si Bedas” adalah sosok pemuda desa usia 30 tahunan, dengan postur tubuh tinggi besar, belum menikah dikarenakan memiliki IQ dibawah rata-rata, namun semangat hidupnya sangat besar, kesehariannya bekerja sebagai kuli pikul bagi mereka yang membutuhkan tenaganya. Sementara kekurangannnya sebagai pemuda keterbelakangan mental, sering dimanfaatkan sebagian warga untuk sekedar mengerjainya, tak jarang pula ada yang mencuri uang hasil jerih payahnya bekerja kuli panggul, tapi tak sedikitpun rasa dendam di diri seorang si bedas. Namun Inilah yang menjadi ketertarikan bupati terhadap diri seorang “si Bedas”. Menurut bupati, keikhlasan si Bedas harus dicontoh bagi masyarakat, bekerja tanpa pamrih, selalu semangat dalam mengisi hari-harinya, padahal dari segi mental ada kekurangan, inilah sebenarnya kesalehan social seseorang.  Dalam kesempatan gempungan enam bulan kebelakang itu, semakin jelas dalam memory penulis, bupati memberikan 5 ekor domba bagi “si Bedas” untuk diternak sebagai tambahan modal ekonominya. Cerita “si  Bedas” 6 bulan kebelakang, selesai setelah berakhirnya shooting film documenter kisah hidup “si Bedas” yang diakhiri pemberian 5 ekor domba oleh bupati.

Sambil mengingat memori cerita 6 bulan kebelakang itu, penulispun terus me-record menggunakan handycam, menyaksikan langsung “si bedas” menceritakan kembali kisah domba pemberian bupati itu kepada si pemberinya (bupati-red). ”pa, domba teh ayenamah geus jadi sapuluh, nuhun pa” cetusnya sambil tersenyum lebar. Pernyataan yang singkat itu, tentu membuat bangga bukan hanya bupati, termasuk penulis dan yang hadir pada saat mauled itu. Tak terasa air mata bahagia tampak berbinar di mata bupati. Perasaan bupati, termasuk perasaan penulispun akan sama dengan warga yang tahu betul keterkaitan cerita 6 bulan kebelakang dengan yang kala itu terjadi. Ya, waktu 6 bulan sejak gempungan itu, “si Bedas” tentu menggembalakan 5 ekor domba pemberian bupati dengan baik, sehingga dombanya beranak pinak hingga menjadi 10 ekor. Sikap amanah yang patut dicontoh, lagi-lagi bupati memuji “si Bedas”. Bupati pun dengan penuh penasaran terus menginterogasi “si Bedas”, dari pertanyaan seputar domba hingga pertanyaan status si bedas yang dahulu masih bujangan. “aduh pa, teacan wae kenging jodona. Teaya nu bogoheun meureun”, seloroh si Bedas, yang diikuti gelaktawa hadirin. Kepolosan “si Bedas” menjawab berbagai pertanyaan Bupati, memberikan suasana penuh canda kala itu. Namun juga, jawaban polos tersebut memberikan tauladan sebenarnya bagi yang hadir. Sebab jika dirunut pada cerita saat gempungan lalu, dengan saat mauled itu, si bedas telah memperlihatkan konsistensi dan komitmennya dalam bekerja keras penuh keihklasan. Hal itu terungkap dari cerita yang ia sampaikan.

Menyikapi sosok “si Bedas”, Bupati menegaskan kepada hadirin, bahwa sebenarnya sosok seperti inilah yang patut kita contoh. Selama ini kita sering salah menilai orang, dalam istilah sunda, “kabobodo tenjo kasamaran tingal, nu lain di enya-enya, nu enya di lain-lain”. Tak jarang, ketika kita mencari orang yang shaleh, kita sering terjebak pada sikap shalehnya seseorang yang diperlihatkannya. Tetapi yang sebenarnya, orang shaleh adalah orang yang tidak banyak menuntut, dia bekerja dengan ikhlas, penuh kesungguhan, tidak menyalahkan dan membicarakan orang, ditipu orang tapi tidak dendam. Dan sosok si Bedas telah membuka mata hati kita, bahwa sesungguhnya orang shaleh itu mungkin saja ada pada dirinya. Lebih jauh, bupati menegaskan, dalam tataran keilmuan sufistik atau kaum tasawuf, yang disebut keshalehan itu, dalam istilah sunda “Nyumput Buni ti nu caang”, dalam artian, bahwa yang shaleh itu sebenarnya ada dan nyata ditengah-tengah kita, namun mata hati kitalah yang tertutup. Seorang Bah Pian (almarhum) yang tinggal di Tanjung Rasa, yang kesehariannya sebagai tukang bersih-bersih di Masjid (marbot masjid), menjadi seseorang yang begitu dihormati oleh para kyai-kyai besar. Artinya dari kisah ini, mungkin saja orang yang tidak banyak bicara itu shaleh, yang tidak membaca buku itu juga shaleh, tetapi dia shaleh dalam membaca diri dan kehidupannya.

Dibagian akhir, yang tak kalah memberikan tauladan, mungkin tauladan bagi penulis dan Bupati (disini penulis hanya menegaskan pada diri penulis dan bupati, sebab cerita mauled di bagian akhir ini memperlihatkan tingkah “si Bedas” yang sama persis dengan pengalaman diri Bupati waktu kecil menggembala domba, dan ini tidak diketahui oleh jamaah yang hadir waktu itu). “si Bedas” dalam setiap menggembala dombanya, sering mengisi waktu menunggui ternaknya dengan mendengarkan radio kecil yang ia punyai. Sambil mengeluarkan radio dari dalam saku celananya kemudian memperagakan menghidupkan radio itu di depan Bupati. Dengan kepolosannya, “si Bedas” lagi-lagi memperlihatkan semangat hidupnya yang tak kenal lelah. Detik berikutnya, bupati tampak benar-benar mengeluarkan air matanya. Bupati berjanji akan memperhatikan si Bedas, mulai membuatkan rumah hingga nanti jika ada jodohnya, resepsi pernikahannya akan digelar Bupati.

Rasa haru bercampur canda menghiasi suasana mauled kala itu, tak terasa air mata pun membasahi LCD Handycam yang penulis pegang. Pengalaman yang penuh tauladan. [soem]

11 January 2013

Kilas Balik Program "GEMPUNGAN DI BURUAN URANG LEMBUR"


“Hingar bingar” Pemerintah Kabupaten purwakarta saat ini dalam memberikan Pelayanan Publik kepada warganya dalam kemasan Gempungan di Buruan Urang Lembur, tak terlepas dari pengalaman sosok kang Dedi Mulyadi, dalam menapaki perjalanan jabatannya sebagai bupati di Purwakarta. selain mengambil peran sebagai sosok “Bapak Pembangunan” karena berbagai keberhasilannya membangun infrastruktur, baik jalan, jembatan, listrik gratis bagi warga, air bersih, penataan ruang kota dan berbagai kebijakan infrastruktur lainnya. sosok kang dedi juga, ternyata lebih terkesan mengambil peran sebagai “pesuruh” dan “pelayan” yang senantiasa menyempatkan diri untuk melakukan transformasi informasi dengan rakyatnya sebagai “raja”. Ya, menurut kang dedi, hakikatnya seorang pemimpin daerah adalah pelayan yang siap sedia melayani berbagai kebutuhan rakyatnya. Pelayanan yang baik adalah dengan terlebih dahulu melakukan transformasi informasi, sejauhmana keinginan dan kebutuhan yang mendesak dari “raja” itu, untuk selanjutnya dicarikan solusi dengan cara kerja-kerja kongkrit penyelesaiannya. Adapun bentuk transformasi informasi yang dilakukan kang dedi, yaitu dengan menggelar pertemuan langsung dengan warga desa, dalam tajuk gempungan di buruan urang lembur, yang digelar awalnya setiap rabu sore.

Proses perjalanan Gempungan sejak akhir tahun 2009 hingga saat ini, bagi penulis adalah suatu rekam jejak bupati yang konsisten dan terencana dengan baik, dimana pada hakikatnya pembangunan yang baik adalah berawal dari adanya Input kemudian diproses dan dihasilkan output, namun tidak berhenti pada output saja, tetapi secara jangka panjang memberikan outcome yang menyeluruh bagi proses pembangunan itu. Inilah yang penulis dapat simpulkan dari format acara Gempungan di Buruan Urang Lembur yang digagas bupati. Karena inputnya sudah jelas dapat diambil dari berbagai masukan yang terjadi dalam transformasi informasi itu, kemudian diproses dan ditindaklanjuti dengan berbagai pelayanan publik yang terintegrasi antara kebutuhan kependudukan, kesehatan, KB, Pendidikan, perizinan, peternakan, pertanian dan sebagainya yang dipusatkan disatu desa. Pada jangka pendek, hal ini akan menghasilkan (output) pengolahan data kependudukan yang tertib, pelayanan-pelayanan kesehatan, peternakan dan lainnya yang mudah didapatkan dan gratis. Nah, pada jangka panjang, gagasan gempungan ini, bagai bayi yang lahir yang kemudian tumbuh dewasa mencipta dan menelurkan jutaan ide dan mimpi tentang pembangunan yang bersinergi dengan alam dan lingkungan. Inilah buah akibat dari transformasi informasi yang sejak awal dibangun bupati, sehingga menelurkan berbagai kebijakan baru, Asuransi Pekerja Sosial bagi guru ngaji, dukun beranak (Paraji), kader posyandu, RT RW, linmas, pengurus masjid dan pekerja social lainnya. kemudian kebijakan Asuransi Pekerja Informal bagi warga yang bekerja selain PNS, TNI, POLRI dan pegawai swasta, termasuk Wanita Tuna Susila (WTS) sekalipun dilindungi kesehatan dan kematiannya oleh kebijakan ini. Dan berbagai kebijakan yang senantiasa memberikan kemudahan dan perlindungan bagi seluruh warga purwakarta.

Untuk membedah dan memberikan informasi bagi para pembaca, penulis ingin mencoba bercerita mengenai awal gempungan yang dilaksanakan bupati hingga gempungan-gempungan berikutnya, sebagai runtutan kegiatan yang berkesinambungan. Sehingga apa yang dapat penulis simpulkan tentang gagasan bupati terkait gempungan ini, yakni sebagai perjalanan panjang dari rekam jejaknya yang konsisten dalam mengeluarkan dan melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan yang berpihak pada rakyat, yang itu semua berdasar pada adanya transformasi informasi yang dibangun dan bersinergi dengan alam dan lingkungannya.

Cerita tentang gempungan ini kita awali pada akhir tahun 2009, ide Gempungan di Buruan urang Lembur, dituangkan bupati saat mengunjungi salahsatu desa yakni desa cikadu kecamatan cibatu. Desa cikadu merupakan desa paling timur di kabupaten purwakarta dan berbatasan langsung dengan kabupaten subang. Saat itu, gempungan dikemas hanya sebagai wadah tempat berkeluhkesahnya warga kepada pemerintah daerah. Ditempatkan disuatu halaman rumah warga yang luas, warga bisa bertatap muka langsung dengan bupati serta pejabat pemkab lainnya, termasuk para wakil rakyat. Kegiatannya digelar pada sore hari. Dalam gempungan tersebut, banyak terserap informasi berbagai bentuk permasalahan di tingkatan warga di pedesaan, mulai permasalahan jalan desa, irigasi, persediaan air bersih warga, termasuk berbagai macam persoalan kesehatan dan masalah social lainnya. pengalaman hari pertama “kegiatan gempungan”, menyimpan PR bagi pemkab dalam merespon berbagai persoalan itu.

Pada rabu berikutnya, gempungan digelar di kampung siluman, desa cijunti kecamatan campaka. Lagi-lagi bupati dipertontonkan dengan berbagai macam persoalan pelik yang dialami warga disana. Kali ini, bupati lebih melihat permasalahan pribadi dari sosok seorang dukun beranak, atau Mak Paraji yang sengaja dipanggil mendekati bupati untuk menceritakan pengalamannya selama membantu proses persalinan warga. Sebagai seorang “bidan” kampung yang membantu proses persalinan warga yang rata-rata miskin, mak paraji dengan sukarela membantunya, tak tebang pilih, tak hiraukan kondisi cuaca, mau hujan mau panas, siang ataupun malam, yang ada dalam pikiran mak paraji, bagaimana dirinya bisa membantu proses persalinan warga yang membutuhkan profesinya itu. Karena dirinya meyakini, bagaimana seorang ibu yang akan melahirkan begitu sangat merasakan sakit yang luar biasa. Kedekatan “rasa” dan “perasaan” antara Ibu yang melahirkan dengan mak paraji itulah, yang tergambar dalam pikiran bupati.

Punlebih jauh, jika merunut apa yang dialami gejolak ikatan ruhaniah dan perasaan yang sama antara mak paraji dengan Ibu yang melahirkan, seyogyanya hal itu menjadi cermin bagi Pemerintah dalam mengejawantahkan program dan kebijakannya yang harus menjadi satu kesatuan ruhaniah antara rasa dan perasaan warga dengan pemilik kebijakan program itu, yakni pemerintah daerah. Artinya, seberapa dekatkah ikatan rasa yang dibangun pemerintah yang diwujudkan dalam kebijakan dengan warga sebagai sasaran program itu. Ikatan ruhaniah antara warga dan pemerintah itulah yang seyogyanya harus menjadi spirit pembangunan. untuk itu, dalam mendekatkan rasa dan ruhaniah pemerintah dengan warganya, langkah awal adalah melakukan transformasi komunikasi ruhaniah yang diwujudkan dalam acara gempungan. Pendekatan-pendekatan cultural seperti gempunganlah yang harus dilakukan pemerintah. Artinya, gempungan yang digelar sebagai wadah transformasi informasi warga kepada pemerintahnya, tidak serta merta sebagai program yang parsial, yang incidental hanya life service semata pemerintah tanpa ada tindak lanjut. Tetapi, gempungan pada sore hari itu harus menjadi langkah awal untuk melakukan program kebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyat yang didasari ikatan emosial diantara keduanya, bukan sekedar formalitas kegiatan belaka. Untuk itu, dasar2 informasi yang diperoleh Pemerintah dari warga melalui gempungan, menjadi prioritas pembangunan yang dirasa objektif untuk dilakukan pembenahan dan tindak lanjut.

Sisi lain dari program gempungan pada sore hari itu, adalah pentingnya mempersiapkan generasi muda sebagai pewaris kehidupan ini yang siap mental dan siap secara ekonomi. Agar kedepan, negara bisa dibangun oleh piranti-piranti ekonomi rakyat yang mapan dan piranti ruh etos kerja yang tinggi. Hal inilah yang didapat bupati saat gempungan minggu ketiga digelar di Desa Mulyamekar kecamatan Babakancikao. Dimana pada saat itu, bupati memanggil “Si Karna” seorang anak kecil usia 9 tahun, yang tidak sekolah tetapi semangat hidupnya tinggi. Malah yang lebih menusuk dunia pendidikan kita, pernyataan polos anak kecil itu, yang lebih memilih “Macul” atau mencangkul untuk bertani daripada harus sekolah, lebih baik mengisi hari-harinya menggembala domba dan beternak Bebek, daripada menghabiskan waktu untuk jajan disekolah. Sungguh pemandangan yang kontras penuh makna, dan tentu menyimpan cerita unik di benak bupati dan inspirasi yang penting untuk dijadikan kebijakan lanjutan.

Gempungan selanjutnya terus berjalan sebagaimana jadwal yang telah ditentukan. Namun penulis dapat menyimpulkan ada 3 (tiga) hal penting yang itu ternyata direspon oleh bupati dan perlu ditindaklanjuti. Pertama, berbagai masukan dari warga di acara gempungan terkait kebutuhan-kebutuhan publik yang mendesak dan perlu segera dilakukan pemecahannya, baik pemecahan yang sifatnya jangka pendek maupun jangka panjang. Kedua, pengalaman karier pekerja-pekerja social, seperti mak paraji, Linmas dan sebagainya ternyata memerlukan perhatian serius bagi pemerintah. Inspirasi mak paraji sebagai pekerja social yang ikhlas membantu proses persalinan warga, sehingga melahirkan penyatuan ruhaniah diantara keduanya itu, patut dicontoh sebagai pondasi penyatuan ruh keberpihakan kebijakan pemerintah pada rakyat. Dan terakhir, pengalaman-pengalaman unik dan ringan yang dipertontonkan bupati saat memanggil sosok orang disekitar kita yang dianggap martabatnya rendah, seperti halnya cerita “si Bedas” pada tulisan lain, dan “Si Karna” seorang anak yang tidak sekolah itu, justru dari mereka lah kita bisa belajar menghargai kehidupan ini. Untuk itu mereka perlu segera dimuliakan dan diangkat martabat kehidupannya. Dari tiga hal inilah, kemudian gempungan melahirkan ide-ide baru bagi bupati dalam mengambil kebijakan.

Yang pertama, dari alur perjalanan gempungan di buruan urang lembur dari awal dalam bingkai “cuap-cuap” warga kepada pemerintah itu, lambat laun menemukan titik terang sebagai rangkaian perjalanan kebijakan pelayanan publik yang tepat sasaran dan langsung diterima masyarakat. sebab dalam perjalanannya, melalui gagasan bupati yang terilhami gempungan sore hari itu, gempungan berikutnya dilengkapi dengan fasilitas pelayanan pemerintah yang langsung kepada warga masyarakat, yang dilaksanakan pada pagi hari. pelayanan itu, sementara waktu bisa menjadi “obat penahan sakit” dalam menjawab persoalan yang muncul dimasyarakat. Pelayanan dalam tajuk gempungan di buruan urang lembur ini, merupakan outcome dari transformasi komunikasi pemerintah dan warga, dimana pelayanan itu merupakan sinergitas peran dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat. adapun pelayanan yang disuguhkan dalam gempungan tersebut, meliputi pelayanan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DISDUKCAPIL) yakni, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Kelahiran dan Kartu Keluarga (KK) Gratis bagi warga, pelayanan oleh Dinas Kesehatan meliputi Pengobatan Gratis, Sunatan Massal Gratis, pelayanan oleh Badan Keluarga Berencana Perlindungan Ibu dan Anak (BKBPIA) meliputi pelayanan Pemeriksaan Ibu Hamil menggunakan USG, pelayanan untuk peserta KB baru, pemeriksaan peserta KB, baik suntik, Pil, Implant ataupun IUD. Pelayanan oleh DInas Peternakan dan Perikanan (Disnakkan) meliputi pemeriksaan kesehatan hewan ternak, proses kehamilan buatan melalui Inseminasi Buatan, pemberian hewan ternak yang biasanya diberikan kepada orang yang dipanggil kedepan saat gempungan hiburan di malam hari digelar. Pelayanan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) meliputi perizinan terbatas seperti Surat Izin Usaha Perseorangan (SIUP) bagi para pedagang kecil. Pelayanan oleh Unit Pelayanan Teknis Daerah Cabang (UPTDC) PMI Purwakarta yakni Donor Darah. Pelayanan Kantor Perpustakaan Daerah dengan menggelar Perpustakaan Keliling untuk meningkatkan minat baca warga, serta berbagai pelayanan lainnya. Sementara pada malam harinya, digelar transformasi informasi antara pemerintah dengan masyarakat sebagaimana tujuan awal dari gempungan, namun pada malam hari kemasannya semacam pagelaran yang menampilkan hiburan, music, seni tari dan bintang tamu pelawak. Hal ini untuk melestarikan seni tradisi sunda tari jaipong, seni music sunda, dan mengemas informasi dari pemerintah, yang disuguhkan dalam lawakan, agar dapat memberikan hiburan dan dapat dicerna oleh  masyarakat yang hadir. Malah pada awal 2012, gempungan pada malam hari menampilkan pula kesenian wayang golek yang dipadankan dengan seni wayang suket yang berasal dari solo. Kolaborasi pagelaran ini, menambah makna yang terkandung dalam pelestarian adiluhung budaya indonesia, sebagai perjalanan panjang metamorphosis simbolistik budaya dalam bentuk seni.

Keseluruhan dari integrasi pelayanan publik pada pagi hari itu, ternyata mampu menjawab beberapa persoalan, hal ini dapat dilihat dari kenaikan grafik masing-masing pelayanan. Dari data kependudukan yang semakin tertib, dimana setiap orang telah mempunyai KTP untuk wajib KTP, termasuk yang lebih mencolok adalah tingkat kepesertaan KB warga yang loncat jauh keatas, sehingga memposisikan Purwakarta sebagai Kabupaten peringkat pertama dalam kenaikan tajam kepesertaan program KB secara nasional. Pelayanan publik yang berkaitan langsung dengan data kependudukan, yakni pembuatan KTP, Kartu Keluarga dan Akte Kelahiran secara gratis di acara Gempungan ini pula, telah melahirkan gagasan baru bagi bupati, yakni pelayanan kependudukan yang berbasis di kantor desa secara jaringan online seluruh wilayah purwakarta. Bupati melihat, pelayanan kependudukan yang selama ini dilakukan di kantor kecamatan dan tidak online, merupakan kedzhaliman bagi rakyat dan kebekuan proses pembangunan. Rakyat disusahkan dengan hanya proses pembuatan identitas kependudukannya, belum lagi harus bayar dengan proses waktu yang lama. Untuk itu, bercermin dari realita yang terjadi di gempungan, bupati melakukan terobosan kebijakan pelayanan publik yang baru, yakni pelayanan KTP, Kartu Keluarga dan Akte Kelahiran berbasis di kantor desa dengan sistem jaringan online ke dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) sebagai leading sector masalah ini, dan dengan proses pelayanan yang cepat hanya memakan waktu 5 menit langsung jadi.

Pada kondisi yang kedua, yakni ketika menyaksikan para pekerja social, mereka kerja tanpa pamrih, tanpa pendapatan yang jelas, tak mengenal waktu, siang, malam ataupun kondisi cuaca yang tak menentu, tapi yang ada dipikirannya adalah kerja-kerja ikhlas. Pengalaman mak paraji ketika di gempungan kampung siluman desa cijaya campaka adalah salahsatu bukti, masih banyaknya para pekerja social yang ikhlas yang membutuhkan perlindungan dari tangan pemerintah. Untuk itu, gagasan pun muncul mengenai kebijakan melindungi seluruh para pekerja social ini dengan penyertaan asuransi kesehatan dan kematiannya. Hampir 14 ribu lebih pekerja social yang ada di purwakarta, meliputi Guru Ngaji, Dukun Beranak (Paraji), Anggota Linmas, Ketua RT, RW, Aparatur desa, Imam Masjid, kader Posyandu serta lainnya, sejak 2011 lalu sudah diasuransikan pemerintah daerah melalui PT. JAMSOSTEK. Inilah bukti kongrit, kebijakan yang berpihak pada rakyat.

Kebijakan ini pula yang memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa seharusnya kebijakan pemerintah bukan pada bagaimana besarnya Bantuan Langsung berupa uang, karena itu bisa mematikan kreatifitas masyarakat, Bantuan langsung hanya melahirkan rakyat yang malas tanpa etos kerja. Tetapi jika bantuan dan kebijakan pemerintah berupa perlindungan menyeluruh atas kesehatan dan kematian rakyatnya, tanpa mengganggu hak privat ikhtiar usaha dan kariernya masing-masing, bisa dirasakan inilah kebijakan yang lebih bermanfaat secara jangka panjang. Tak hanya berhenti pada asuransi pekerja sosial, tetapi pada awal 2012 lalu, para pekerja informal pun, didaftarkan sebagai peserta asuransi PT. JAMSOSTEK untuk perlindungan kesehatan dan kematiannya. Adapun pekerja informal adalah mereka yang bekerja diluar PNS, TNI, POLRI dan pegawai perusahaan swasta, yakni mereka adalah buruh tani, petani, pedagang, tukang becak, tukang ojek, sopir angkutan umum, hingga WTS sekalipun, dengan jumlah lebih dari 70 ribu peserta dengan tanggungan satu peserta membawa Suami/Istri dan 3 orang anak. Artinya sebenarnya, secara umum penyertaan asuransi di wilayah kabupaten purwakarta adalah seluruh warga yang tercatat berdomisili di kabupaten purwakarta, dan ini yang pertama di Indonesia, asuransi rakyat di suatu daerah kabupaten yang warganya diasuransikan.

Dan yang terakhir, menyangkut pengalaman unik bupati saat memanggil orang untuk diperdengarkan pengalaman hidupnya, yang rata-rata mereka adalah anak kecil. Rupanya telah menyimpan segudang keinginan bupati untuk memuliakan mereka. Karena biasanya mereka yang dipanggil adalah orang yang secara strata social berada pada kemiskinan dengan berbagai latarbelakang masalah keluarga yang cukup pelik. Misalkan, pengalaman gempungan di Desa Cirangkong Kecamatan Cibatu yang memunculkan nama Ahmid (si Bedas) yang telah dibahas dalam tulisan lain, telah melahirkan Ahmid baru yang tampil sebagai pemuda ulet, etos kerja yang tinggi, sebagai tukang kuli pikul bagi warga disekelilingnya, dengan bekal 5 ekor domba yang diberikan bupati saat gempungan. Dan ahmid pun ternyata telah menjadi pemuda yang amanah, dimana 5 ekor domba yang ia dapatkan sebagai bekalnya itu, 6 bulan kemudian telah beranak pinak menjadi 11 ekor domba.

Cerita lain, tentang “Si Karna” pun tidak kalah nilai Ibrahnya (pelajaran) yang patut diteladani. Ya, setelah “Si Karna” diberikan 3 Ekor Domba dalam gempungan 2 tahun lalu itu, kini dombanya beranak pinak menjadi 10 ekor, sebagian sudah dijual, untuk bekal “Si Karna” yang telah “Memproklamirkan” diri bersekolah. Informasi yang terakhir yang didapatkan, saat “Si Karna” dipanggil lagi bupati, dalam acara syukuran 4 tahun jabatan bupati 13 Maret 2012 lalu yang digelar secara sederhana di rumah dinas Bupati. “Si Karna” telah nampak dewasa, usia 13 tahun yang terbilang tua bagi seumuran anak kelas 3 di Sekolah Dasar Negeri 2 Mulyamekar Babakancikao ini, tidak ia sia-siakan. Dengan bekal dombanya untuk biaya ongkos ke sekolah, kini ia menatap masa depannya dengan bekal seekor sapi dewasa yang siap melahirkan, hasil dari pergantian ternak dombanya dulu. Sungguh telah membangkitkan gairah hidup bagi siapapun yang bisa meneladani dan mencermati sejengkal demi sejengkal pengalaman sosok kang dedi mulyadi. Seluruhnya pengalaman tersebut, telah menjadi Ibrah dengan melahirkan jutaan ide dan gagasan baru dalam menapaki di 4 tahun jabatannya sebagai Bupati Purwakarta.

Namun cerita tak selalu indah diakhir seperti yang dialami bupati tentang si Karna dan si Karna yang lainnya. Cerita lainnya telah menyisakan kesedihan mendalam bagi bupati. Inspirator bupati dalam melahirkan gagasan dan kebijakan tentang perlindungan dan jaminan asuransi kesehatan dan kematian bagi pekerja social maupun informal, yakni seorang Janda Tua yang berprofesi sebagai mak paraji (dukun beranak) yang ditemui bupati saat gempungan di kampung siluman desa cijunti kecamatan campaka lalu, kini telah meninggalkan dunia ini terlebih dulu, tanpa sempat merasakan santunan asuransi pekerja social dimana dirinyalah yang menginspirasi kebijakan itu.

Lampah Alam Nu Katukang…
Jibred Endah Hihinaan….
Hujan Angin Dilakonan…
Mipir Gawir Nyorang Jurang…
Leutik Tangtung Hate Jangkung…Anjeun Bela Bibilasan….
Kiwari Anjeun Rek Miang….
Muru lembur Pangbalikan….
Ninggalkeun Rasa Kamelang….
Rengkak Anjeun Narembongan…Endah Seuri Ngajauhan….

Demikian penggalan syair lagu sunda yang dituangkan bupati untuk mengenang almarhumah mak paraji itu, dimana syair lagu diatas didendangkan penyanyi grup music EMKA 9, saat acara gempungan digelar kembali di desa cijunti campaka, sebulan setelah meninggalnya mak paraji. Sungguh pemandangan yang mengharukan. Air mata pun tak terasa berlinang diantara bidikan kamera yang penulis fokuskan kearah panggung gempungan, “semoga Allah menempatkan mak paraji pada tempat yang mulia disisi-Nya, karena saya yakin mak paraji adalah orang yang sangat mulia, mulia hatinya, mulia pekerjaannya, dan mulia dimata saya,” demikian ungkap bupati mengakhiri pagelaran panggung gempungan di desa cijunti kecamatan campaka saat itu, yang diamini para warga yang hadir. [soem]

04 January 2013

Dari SMS menjadi Kebijakan


Benar kata pepatah “tak kenal makanya tak sayang”, atau kalau penulis boleh merubah pepatah itu dengan “tak kenal makanya takkan mengerti sikapnya”. Ya, pepatah ini sengaja penulis ganti seperti diatas, sebab ini terkait pengalaman pribadi penulis terhadap seorang bupati kita, kang dedi mulyadi. Pengalaman ini sebenarnya tidak harus dipublikasikan kepada khalayak, sebab tidak begitu penting jika hanya dilihat dari sisi pengalaman pribadi penulis saja, dalam memahami sikap dan karakter bupati kang dedi mulyadi. Tapi menjadi penting diketahui, karena ini menyangkut sikap pribadi bupati dalam menelurkan berbagai kebijakan pemerintah.

Pengalaman penulis ini diawali, saat penulis belum menjadi tim dokumentasi bupati, yakni sebelum akhir tahun 2009, sehingga penulis belum merasa dekat dan belum tahu betul keseharian bupati. Penulis waktu itu, hanya mendapatkan informasi dari teman diskusi seorang dosen sebuah Perguruan Tinggi di Purwakarta, yang menyikapi kecenderungan sikap pribadi bupati yang dianggap negative dan cenderung tidak sopan. Ya, sebenarnya hal sepele dari sikap pribadi bupati, namun memang menjadi cibiran banyak orang karena jabatannya sebagai pejabat public.

Sikap sepele itu adalah bupati, kang haji dedi mulyadi, memiliki kebiasaan sering mengoperasikan Handphone (baca: telepon genggam)-nya disaat acara resmi, atau terkadang saat menerima tamu di kantornya. Menurut dosen teman penulis ini, kebiasaan itu tentu buruk bagi citra bupati, karena dianggap tidak sopan dan tidak menghargai pribadi orang. Dosen memisalkan, jika kita menerima tamu dengan berbagai maksud dan tujuannya, sementara “si empunya” rumah, apalagi ini Bupati, menerima dan mendengarkan maksud dan tujuan tamu itu sambil terkadang mengoperasikan HP miliknya. Ada 2 kesalahan sebenarnya, yang pertama tidak menghargai orang bicara dan yang kedua, sejauhmana bupati akan mengerti maksud orang yang bertamu itu, jika sambil mengoperasikan telepon genggam.

Pernyataan dosen itu, terus merasuki pikiran penulis. Sehingga ini menuntut penulis untuk mencari tahu, kebenaran dari sikap pribadi bupati tersebut. Penulis yang saat itu masih kuliah, berusaha menyempatkan untuk memperhatikan sedetail mungkin gerak-gerik bupati. Berbagai momen kegiatan yang dihadiri bupati menjadi sasaran penulis. Hasilnya, dari berbagai kesempatan penulis memperhatikan sikap bupati, ternyata memang benar, malah ini menjadi pembicaraan hangat ditingkat tataran mahasiswa saat itu. Namun penulis tak serta merta membuat kesimpulan. Ada pertanyaan besar sebenarnya dalam benak penulis. Ya, pertanyaan tentang apa sebenarnya yang menjadi penyebab bupati sering melakukan hal itu. Penulis beranggapan, hal ini ternyata sering dilakukan bupati saat acara yang dihadirinya. Sebuah kejadian yang konsisten dan mungkin terencana dilakukan bupati.

Penulis terus dibayangi rasa penasaran yang sedemikian besar terhadap bupati atas “tingkahnya” itu. Hingga akhirnya sejak penulis menjadi tim dokumentasi bupati, setiap penulis kebetulan ada jadwal bertugas mendokumentasikan acara bupati, perlahan rasa penasaran itu mulai terjawab. Ternyata hampir setiap kali acara, dan acap kali bupati menerima tamu, dirinya selalu tidak lepas dengan telepon genggam sambil mengoperasikannya. Hal itu, sebenarnya tidak hanya ketika acara yang melibatkan orang banyak, atau saat menerima tamu di kantornya, tetapi juga saat dirinya di dalam mobil. Kenyataan itu, penulis ketahui langsung oleh mata penulis sendiri, karena di beberapa kesempatan, penulis sempat satu mobil bersama bupati.

Selain tingkahnya itu, pernyataannya pun terkait kebiasaan banyak orang saat ini, termasuk dirinya, sering menganggap bahwa Handphone sudah menjadi “istri kedua”, hal ini dapat dibuktikan ketika seseorang bangun tidur, yang paling pertama dicari adalah HP-nya. Pernyataan bupati inilah, yang membuat penulis yakin, bahwa bupati sangat bergantung pada Handphone-nya itu. Apalagi, suatu waktu penulis menyaksikan Pengawal Pribadi (WALPRI)-nya, kelimpungan saat mencari 2 HP bupati yang lain ketika acara maulid di kecamatan Bojong. Lagi-lagi penulis tak habis pikir, bupati menggunakan HP hingga tiga unit seperti itu. Lalu, pertanyaan selanjutnya dan merupakan pertanyaan penting adalah, untuk apa bupati melakukan hal itu, mengoperasikan HP saat acara, saat ada orang bertamu dan menyampaikan maksud bertamunya.

Untuk menjawab pertanyaan itu, penulis mencoba mencari tahu kepada seseorang yang cukup kompeten untuk mengurai dan menjelaskannya. Ya, seseorang yang bertugas sebagai operator SMS Center bupati, seorang staf pelaksana di bagian umum yang ditempatkan sebagai staf bupati bidang informasi dan telekomunikasi. Obrolan menarikpun terus muncul dari pengalamannya. Menurutnya, sistem kinerja bupati dan kebijakan-kebijakannya, sebagian besar dipengaruhi oleh SMS yang masuk pada HP pribadinya. SMS tersebut, biasanya dikirimkan warga purwakarta melalui nomor SMS center yang dikelolanya, lalu SMS tersebut dimeja operator, diklasifikasikan pada SMS yang termasuk kritik/saran tentang pembangunan, peristiwa/musibah yang butuh penanganan cepat, atau SMS yang sekedar info dan basa-basi. Kemudian SMS tersebut ada yang diteruskan oleh operator (forward-red) ke nomor HP pribadi milik bupati. Untuk SMS yang lebih bersifat teknis, diteruskan langsung ke Dinas terkait, tergantung isi SMS nya. Lalu selang beberapa menit, biasanya ada balasan SMS dari nomor HP pribadi bupati ke SMS center untuk diteruskan kepada orang yang mengirim SMS. Atau setelah bupati menerima SMS dari SMS Center, kadang juga bupati langsung menelepon nomor HP yang mengirim SMS itu, dan itu tergantung isi pesan yang dikirim, biasanya jika langsung di telepon, berarti info yang sangat mendesak dan butuh penanganan.

Dari sana penulis mulai mendapat gambaran, jadi selama ini sikap bupati yang sering mengoperasikan HP (kebanyakan untuk SMS, tapi sesekali telepon) itu, adalah untuk menindaklanjuti SMS yang masuk ke HP nya yang dikirim lewat SMS Center. Sementara untuk hal yang mendesak, bupati menelpon langsung kepada orang yang mengirim SMS tersebut. Hal inilah yang mungkin memaksa bupati untuk mengoperasikan HP, saat acara berlangsung yang ia hadiri atau saat menerima tamu. Kemudian pertanyaan yang terakhir adalah, sejauh mana bupati dapat memahami antara isi SMS yang dikirim SMS Center ke HP-nya dengan memahami pembicaraan orang saat bertamu di kantornya, sementara kejadian itu persis berbarengan.

Pertanyaan yang satu ini, terjawab langsung oleh penulis, saat penulis sedang asyik mengobrol diruangan staf  bupati dengan operator SMS Center. Dimana saat yang bersamaan, dibalik ruangan yang bersebelahan dengan ruang staf, yaitu ruang rapat, bupati sedang menerima tamu penting dari Investor yang akan berinvestasi di Purwakarta. Saat itu, penulis mendengar, obrolan bupati dengan tamunya itu, sesekali diselingi gelak tawa yang memenuhi hampir diseluruh ruangan, namun pada saat yang bersamaan pula, muncul SMS ke nomor SMS Center, yang berasal dari nomor HP pribadi milik bupati. Ternyata selama mengobrol dengan tamunya itu, bupatipun aktif mengirim SMS menindaklanjuti SMS yang masuk ke SMS Center. Penulis tak bisa menjelaskan bagaimana bupati bisa melakukan itu, otak kiri dan otak kanannya benar-benar digunakan sebaik-baiknya. Saat penulis terheran-heran, operator SMS Center berbisik kepada penulis, ”ini ada yang SMS dari Kepala Desa yang salah satu warganya harus dioperasi bedah, karena tidak memiliki lubang anus”. Penulispun sekejap saja, berusaha memaklumi atas sikap bupati selama ini, termasuk sejak awal penulis penasaran atas sikap bupati mengoperasikan HP saat acara digelar atau saat bupati menerima tamu dikantornya. Ya, perlu dimaklumi, hanya itu yang keluar dari mulut penulis. [soem]