13 March 2013

"Si Bedas" Yang Ikhlas


“Si Bedas” Yang Ikhlas

Kisah yang akan kita angkat kali ini mungkin tidak begitu menjadi sesuatu yang “wah” bagi para pembaca, karena sepintas cerita ini adalah pengalaman Bupati Purwakarta kang H. Dedi Mulyadi, SH pada satu moment kegiatan. Untuk itu penulis ingin mencoba memberikan penjelasan pada secarik kisah 20 menit bupati pada moment kegiatan ini, dengan membeberkan keterkaitan kisah 20 menit itu dengan kisah-kisah sebelumnya. Sehingga cerita ini, ternyata memberikan pelajaran berharga bagi kita untuk meneladaninya. Terlepas pada jabatannya sebagai seorang Bupati, sosok Dedi Mulyadi benar-benar peka terhadap perasaan dan kondisi psikologis seseorang. Kesimpulan ini penulis buat atas beberapa kisah hingga runtutan kisah yang saling melengkapinya, sehingga subjektifitas pembaca memandang figur dedi mulyadi bisa menjadi objektif, sebagaimana objektifnya penulis alami dari tahun ke tahun (sejak 2009) ketika sejak awal penulis mengikuti berbagai kegiatan beliau sebagaimana tugas penulis sebagai tim documenter Bupati Purwakarta.

Kita awali kisah ini dari perjalanan Bupati Purwakarta mengikuti acara Maulid Nabi Muhammad SAW 1433 H, tepatnya sabtu malam (04 Februari 2012)  di Desa Cirangkong Kecamatan Cibatu. Sebagai seorang Bupati tentu dirinya wajib untuk menghadiri undangan berbagai event yang digelar oleh warganya, termasuk acara sabtu malam itu. Awalnya tak ada yang aneh saat datang ke acara itu, hanya saja, memang Bupati datang paling malam sekira pukul 23.00 WIB dimana saat itu sedang berlangsung acara inti yakni tausiyah Maulid Nabi. Kedatangan bupati yang larut malam bukan tanpa alasan, sebab beliau sebelumnya telah menjelajah di tiga tempat berbeda dengan acara yang sama, yakni di Masjid Alhikmah Desa Ciwangi Bungursari, PonPes Ar Rosyadiyah Desa Bungursari, dan di Masjid Jamie At Taubah RW 09 Perum Griya Ciwangi Desa Ciwangi Kecamatan Bungursari. Kegiatan malam hari seperti itu, di bulan Maulid ini sudah menjadi kebiasaan bagi dirinya, karena hal ini beliau manfaatkan untuk memberikan sambutan tentang program pembangunan purwakarta, termasuk ketika sambutan di desa cirangkong tersebut.

Sesaat setelah tausyiah mauled selesai dibawakan penceramah, selanjutnya MC mempersilakan bupati untuk memberikan sambutannya. Bupati pun kemudian beranjak dari tempat duduk dan memulai sambutan. Seperti di tiga tempat sebelumnya, tak ada yang beda apa yang diutarakan bupati kala itu, penulis pun yang sedang standby merecord dan memegangi handycam tak begitu focus pada apa yang disampaikannya. Namun, baru saja bupati memberikan sambutan pada menit ke tiga, seperti yang tertera di timer handycam penulis, bupati dengan gaya bahasanya yang cukup dapat dimengerti kalangan masyarakat dan sesekali bercanda itu, langsung menunjuk seseorang yang berada tepat disamping penulis sambil berucap,”Kumaha domba geus anakan?”, tanpa jeda setelah pertanyaan dilontarkan bupati, sumber suara dari orang disamping penulis menjawab dengan lantang,”Geus anakan pa”. kejadian itu menghentakkan pikiran penulis, pertanyaan pun muncul dibenak penulis, dari pertanyaan siapa orang yang dimaksud, apakah bupati pernah bertemu sebelumnya dengan orang tersebut, hingga keterkaitan apa sehingga bupati menyapa orang itu dengan pertanyaan yang seolah-olah menanyakan sesuatu.

Pertanyaan yang menumpuk dipikiran penulispun sekejap hilang, saat orang yang ditanya menghampiri bupati diatas panggung. Ya, ternyata orang dimaksud adalah “si Bedas”, seseorang yang pernah dipanggil bupati keatas panggung saat acara gempungan di desa cirangkong 6 bulan kebelakang. Penulis hanya bisa menyebutkan nama samarannya “si Bedas”, karena sampai saat ini nama asli orang tersebut benar-benar lupa untuk diingat penulis. Nama “si bedas” masih begitu akrab untuk penulis, sebab setelah kegiatan gempungan itu, penulis ditugaskan bupati untuk membuat scenario cerita film documenter terkait orang tersebut. Dan bupati pun memberikan judul film itu dengan judul “si Bedas”, menceritakan kehidupan dia sesuai kisahnya yang diceritakan saat dipanggil bupati di acara gempungan itu. “si Bedas” adalah sosok pemuda desa usia 30 tahunan, dengan postur tubuh tinggi besar, belum menikah dikarenakan memiliki IQ dibawah rata-rata, namun semangat hidupnya sangat besar, kesehariannya bekerja sebagai kuli pikul bagi mereka yang membutuhkan tenaganya. Sementara kekurangannnya sebagai pemuda keterbelakangan mental, sering dimanfaatkan sebagian warga untuk sekedar mengerjainya, tak jarang pula ada yang mencuri uang hasil jerih payahnya bekerja kuli panggul, tapi tak sedikitpun rasa dendam di diri seorang si bedas. Namun Inilah yang menjadi ketertarikan bupati terhadap diri seorang “si Bedas”. Menurut bupati, keikhlasan si Bedas harus dicontoh bagi masyarakat, bekerja tanpa pamrih, selalu semangat dalam mengisi hari-harinya, padahal dari segi mental ada kekurangan, inilah sebenarnya kesalehan social seseorang.  Dalam kesempatan gempungan enam bulan kebelakang itu, semakin jelas dalam memory penulis, bupati memberikan 5 ekor domba bagi “si Bedas” untuk diternak sebagai tambahan modal ekonominya. Cerita “si  Bedas” 6 bulan kebelakang, selesai setelah berakhirnya shooting film documenter kisah hidup “si Bedas” yang diakhiri pemberian 5 ekor domba oleh bupati.

Sambil mengingat memori cerita 6 bulan kebelakang itu, penulispun terus me-record menggunakan handycam, menyaksikan langsung “si bedas” menceritakan kembali kisah domba pemberian bupati itu kepada si pemberinya (bupati-red). ”pa, domba teh ayenamah geus jadi sapuluh, nuhun pa” cetusnya sambil tersenyum lebar. Pernyataan yang singkat itu, tentu membuat bangga bukan hanya bupati, termasuk penulis dan yang hadir pada saat mauled itu. Tak terasa air mata bahagia tampak berbinar di mata bupati. Perasaan bupati, termasuk perasaan penulispun akan sama dengan warga yang tahu betul keterkaitan cerita 6 bulan kebelakang dengan yang kala itu terjadi. Ya, waktu 6 bulan sejak gempungan itu, “si Bedas” tentu menggembalakan 5 ekor domba pemberian bupati dengan baik, sehingga dombanya beranak pinak hingga menjadi 10 ekor. Sikap amanah yang patut dicontoh, lagi-lagi bupati memuji “si Bedas”. Bupati pun dengan penuh penasaran terus menginterogasi “si Bedas”, dari pertanyaan seputar domba hingga pertanyaan status si bedas yang dahulu masih bujangan. “aduh pa, teacan wae kenging jodona. Teaya nu bogoheun meureun”, seloroh si Bedas, yang diikuti gelaktawa hadirin. Kepolosan “si Bedas” menjawab berbagai pertanyaan Bupati, memberikan suasana penuh canda kala itu. Namun juga, jawaban polos tersebut memberikan tauladan sebenarnya bagi yang hadir. Sebab jika dirunut pada cerita saat gempungan lalu, dengan saat mauled itu, si bedas telah memperlihatkan konsistensi dan komitmennya dalam bekerja keras penuh keihklasan. Hal itu terungkap dari cerita yang ia sampaikan.

Menyikapi sosok “si Bedas”, Bupati menegaskan kepada hadirin, bahwa sebenarnya sosok seperti inilah yang patut kita contoh. Selama ini kita sering salah menilai orang, dalam istilah sunda, “kabobodo tenjo kasamaran tingal, nu lain di enya-enya, nu enya di lain-lain”. Tak jarang, ketika kita mencari orang yang shaleh, kita sering terjebak pada sikap shalehnya seseorang yang diperlihatkannya. Tetapi yang sebenarnya, orang shaleh adalah orang yang tidak banyak menuntut, dia bekerja dengan ikhlas, penuh kesungguhan, tidak menyalahkan dan membicarakan orang, ditipu orang tapi tidak dendam. Dan sosok si Bedas telah membuka mata hati kita, bahwa sesungguhnya orang shaleh itu mungkin saja ada pada dirinya. Lebih jauh, bupati menegaskan, dalam tataran keilmuan sufistik atau kaum tasawuf, yang disebut keshalehan itu, dalam istilah sunda “Nyumput Buni ti nu caang”, dalam artian, bahwa yang shaleh itu sebenarnya ada dan nyata ditengah-tengah kita, namun mata hati kitalah yang tertutup. Seorang Bah Pian (almarhum) yang tinggal di Tanjung Rasa, yang kesehariannya sebagai tukang bersih-bersih di Masjid (marbot masjid), menjadi seseorang yang begitu dihormati oleh para kyai-kyai besar. Artinya dari kisah ini, mungkin saja orang yang tidak banyak bicara itu shaleh, yang tidak membaca buku itu juga shaleh, tetapi dia shaleh dalam membaca diri dan kehidupannya.

Dibagian akhir, yang tak kalah memberikan tauladan, mungkin tauladan bagi penulis dan Bupati (disini penulis hanya menegaskan pada diri penulis dan bupati, sebab cerita mauled di bagian akhir ini memperlihatkan tingkah “si Bedas” yang sama persis dengan pengalaman diri Bupati waktu kecil menggembala domba, dan ini tidak diketahui oleh jamaah yang hadir waktu itu). “si Bedas” dalam setiap menggembala dombanya, sering mengisi waktu menunggui ternaknya dengan mendengarkan radio kecil yang ia punyai. Sambil mengeluarkan radio dari dalam saku celananya kemudian memperagakan menghidupkan radio itu di depan Bupati. Dengan kepolosannya, “si Bedas” lagi-lagi memperlihatkan semangat hidupnya yang tak kenal lelah. Detik berikutnya, bupati tampak benar-benar mengeluarkan air matanya. Bupati berjanji akan memperhatikan si Bedas, mulai membuatkan rumah hingga nanti jika ada jodohnya, resepsi pernikahannya akan digelar Bupati.

Rasa haru bercampur canda menghiasi suasana mauled kala itu, tak terasa air mata pun membasahi LCD Handycam yang penulis pegang. Pengalaman yang penuh tauladan. [soem]