“Si
Bedas” Yang Ikhlas
Kisah yang akan kita angkat kali
ini mungkin tidak begitu menjadi sesuatu yang “wah” bagi para pembaca, karena sepintas
cerita ini adalah pengalaman Bupati Purwakarta kang H. Dedi Mulyadi, SH pada
satu moment kegiatan. Untuk itu penulis ingin mencoba memberikan penjelasan
pada secarik kisah 20 menit bupati pada moment kegiatan ini, dengan membeberkan
keterkaitan kisah 20 menit itu dengan kisah-kisah sebelumnya. Sehingga cerita ini, ternyata memberikan pelajaran
berharga bagi kita untuk meneladaninya. Terlepas pada jabatannya sebagai seorang
Bupati, sosok Dedi Mulyadi benar-benar peka terhadap perasaan dan kondisi
psikologis seseorang. Kesimpulan ini penulis buat atas beberapa kisah hingga
runtutan kisah yang saling melengkapinya, sehingga subjektifitas pembaca
memandang figur dedi mulyadi bisa menjadi objektif, sebagaimana objektifnya
penulis alami dari tahun ke tahun (sejak 2009) ketika sejak awal penulis mengikuti
berbagai kegiatan beliau sebagaimana tugas penulis sebagai tim documenter
Bupati Purwakarta.
Kita awali kisah ini dari
perjalanan Bupati Purwakarta mengikuti acara Maulid Nabi Muhammad SAW 1433 H,
tepatnya sabtu malam (04 Februari 2012) di
Desa Cirangkong Kecamatan Cibatu. Sebagai seorang Bupati tentu dirinya wajib
untuk menghadiri undangan berbagai event yang digelar oleh warganya, termasuk
acara sabtu malam itu. Awalnya tak ada yang aneh saat datang ke acara itu,
hanya saja, memang Bupati datang paling malam sekira pukul 23.00 WIB dimana
saat itu sedang berlangsung acara inti yakni tausiyah Maulid Nabi. Kedatangan bupati
yang larut malam bukan tanpa alasan, sebab beliau sebelumnya telah menjelajah
di tiga tempat berbeda dengan acara yang sama, yakni di Masjid Alhikmah Desa
Ciwangi Bungursari, PonPes Ar Rosyadiyah Desa Bungursari, dan di Masjid Jamie
At Taubah RW 09 Perum Griya Ciwangi Desa Ciwangi Kecamatan Bungursari. Kegiatan
malam hari seperti itu, di bulan Maulid ini sudah menjadi kebiasaan bagi
dirinya, karena hal ini beliau manfaatkan untuk memberikan sambutan tentang
program pembangunan purwakarta, termasuk ketika sambutan di desa cirangkong
tersebut.
Sesaat setelah tausyiah mauled
selesai dibawakan penceramah, selanjutnya MC mempersilakan bupati untuk
memberikan sambutannya. Bupati pun
kemudian beranjak dari tempat duduk dan memulai sambutan. Seperti di tiga
tempat sebelumnya, tak ada yang beda apa yang diutarakan bupati kala itu,
penulis pun yang sedang standby merecord dan memegangi handycam tak begitu
focus pada apa yang disampaikannya. Namun, baru saja bupati memberikan sambutan
pada menit ke tiga, seperti yang tertera di timer handycam penulis, bupati
dengan gaya bahasanya yang cukup dapat dimengerti kalangan masyarakat dan
sesekali bercanda itu, langsung menunjuk seseorang yang berada tepat disamping
penulis sambil berucap,”Kumaha domba geus anakan?”, tanpa jeda setelah
pertanyaan dilontarkan bupati, sumber suara dari orang disamping penulis
menjawab dengan lantang,”Geus anakan pa”. kejadian itu menghentakkan pikiran
penulis, pertanyaan pun muncul dibenak penulis, dari pertanyaan siapa orang
yang dimaksud, apakah bupati pernah bertemu sebelumnya dengan orang tersebut,
hingga keterkaitan apa sehingga bupati menyapa orang itu dengan pertanyaan yang
seolah-olah menanyakan sesuatu.
Pertanyaan yang menumpuk dipikiran penulispun sekejap hilang, saat orang
yang ditanya menghampiri bupati diatas panggung. Ya, ternyata orang dimaksud
adalah “si Bedas”, seseorang yang pernah dipanggil bupati keatas panggung saat
acara gempungan di desa cirangkong 6 bulan kebelakang. Penulis hanya bisa
menyebutkan nama samarannya “si Bedas”, karena sampai saat ini nama asli orang
tersebut benar-benar lupa untuk diingat penulis. Nama “si bedas” masih begitu
akrab untuk penulis, sebab setelah kegiatan gempungan itu, penulis ditugaskan
bupati untuk membuat scenario cerita film documenter terkait orang tersebut.
Dan bupati pun memberikan judul film itu dengan judul “si Bedas”, menceritakan
kehidupan dia sesuai kisahnya yang diceritakan saat dipanggil bupati di acara
gempungan itu. “si Bedas” adalah sosok pemuda desa usia 30 tahunan, dengan
postur tubuh tinggi besar, belum menikah dikarenakan memiliki IQ dibawah
rata-rata, namun semangat hidupnya sangat besar, kesehariannya bekerja sebagai
kuli pikul bagi mereka yang membutuhkan tenaganya. Sementara kekurangannnya
sebagai pemuda keterbelakangan mental, sering dimanfaatkan sebagian warga untuk
sekedar mengerjainya, tak jarang pula ada yang mencuri uang hasil jerih
payahnya bekerja kuli panggul, tapi tak sedikitpun rasa dendam di diri seorang
si bedas. Namun Inilah yang menjadi ketertarikan bupati terhadap diri seorang
“si Bedas”. Menurut bupati, keikhlasan si Bedas harus dicontoh bagi masyarakat,
bekerja tanpa pamrih, selalu semangat dalam mengisi hari-harinya, padahal dari
segi mental ada kekurangan, inilah sebenarnya kesalehan social seseorang. Dalam kesempatan gempungan enam bulan
kebelakang itu, semakin jelas dalam memory penulis, bupati memberikan 5 ekor
domba bagi “si Bedas” untuk diternak sebagai tambahan modal ekonominya. Cerita
“si Bedas” 6 bulan kebelakang, selesai
setelah berakhirnya shooting film documenter kisah hidup “si Bedas” yang
diakhiri pemberian 5 ekor domba oleh bupati.
Sambil mengingat memori cerita 6
bulan kebelakang itu, penulispun terus me-record menggunakan handycam,
menyaksikan langsung “si bedas” menceritakan kembali kisah domba pemberian
bupati itu kepada si pemberinya (bupati-red). ”pa, domba teh ayenamah geus jadi
sapuluh, nuhun pa” cetusnya sambil tersenyum lebar. Pernyataan yang singkat
itu, tentu membuat bangga bukan hanya bupati, termasuk penulis dan yang hadir
pada saat mauled itu. Tak terasa air mata bahagia tampak berbinar di mata
bupati. Perasaan bupati, termasuk perasaan penulispun akan sama dengan warga
yang tahu betul keterkaitan cerita 6 bulan kebelakang dengan yang kala itu
terjadi. Ya, waktu 6 bulan sejak gempungan itu, “si Bedas” tentu menggembalakan
5 ekor domba pemberian bupati dengan baik, sehingga dombanya beranak pinak
hingga menjadi 10 ekor. “Sikap
amanah yang patut dicontoh”,
lagi-lagi bupati memuji “si Bedas”. Bupati pun dengan penuh penasaran terus
menginterogasi “si Bedas”, dari pertanyaan seputar domba hingga pertanyaan
status si bedas yang dahulu masih bujangan. “aduh pa, teacan wae kenging
jodona. Teaya nu bogoheun meureun”, seloroh si Bedas, yang diikuti gelaktawa
hadirin. Kepolosan “si Bedas” menjawab
berbagai pertanyaan Bupati, memberikan suasana penuh canda kala itu. Namun
juga, jawaban polos tersebut memberikan tauladan sebenarnya bagi yang hadir.
Sebab jika dirunut pada cerita saat gempungan lalu, dengan saat mauled itu, si
bedas telah memperlihatkan konsistensi dan komitmennya dalam bekerja keras
penuh keihklasan. Hal itu terungkap dari cerita yang ia sampaikan.
Menyikapi sosok “si Bedas”, Bupati menegaskan kepada hadirin, bahwa
sebenarnya sosok seperti inilah yang patut kita contoh. Selama ini kita sering
salah menilai orang, dalam istilah sunda, “kabobodo tenjo kasamaran tingal, nu
lain di enya-enya, nu enya di lain-lain”. Tak jarang, ketika kita mencari orang
yang shaleh, kita sering terjebak pada sikap shalehnya seseorang yang
diperlihatkannya. Tetapi yang sebenarnya, orang shaleh adalah orang yang tidak
banyak menuntut, dia bekerja dengan ikhlas, penuh kesungguhan, tidak
menyalahkan dan membicarakan orang, ditipu orang tapi tidak dendam. Dan sosok
si Bedas telah membuka mata hati kita, bahwa sesungguhnya orang shaleh itu
mungkin saja ada pada dirinya. Lebih jauh, bupati menegaskan, dalam tataran
keilmuan sufistik atau kaum tasawuf, yang disebut keshalehan itu, dalam istilah
sunda “Nyumput Buni ti nu caang”, dalam artian, bahwa yang shaleh itu sebenarnya ada dan nyata ditengah-tengah kita,
namun mata hati kitalah yang tertutup. Seorang Bah Pian (almarhum) yang tinggal
di Tanjung Rasa, yang kesehariannya sebagai tukang bersih-bersih di Masjid
(marbot masjid), menjadi seseorang yang begitu dihormati oleh
para kyai-kyai besar. Artinya dari kisah ini, mungkin saja orang yang tidak
banyak bicara itu shaleh, yang tidak membaca buku itu juga shaleh, tetapi dia
shaleh dalam membaca diri dan kehidupannya.
Dibagian akhir, yang tak kalah memberikan tauladan, mungkin tauladan bagi
penulis dan Bupati (disini penulis hanya menegaskan pada diri penulis dan
bupati, sebab cerita mauled di bagian akhir ini memperlihatkan tingkah “si
Bedas” yang sama persis dengan pengalaman diri Bupati waktu kecil menggembala
domba, dan ini tidak diketahui oleh jamaah yang hadir waktu itu). “si Bedas”
dalam setiap menggembala dombanya, sering mengisi waktu menunggui ternaknya
dengan mendengarkan radio kecil yang ia punyai. Sambil mengeluarkan radio dari
dalam saku celananya kemudian memperagakan menghidupkan radio itu di depan
Bupati. Dengan kepolosannya, “si Bedas” lagi-lagi memperlihatkan semangat
hidupnya yang tak kenal lelah. Detik berikutnya, bupati tampak benar-benar
mengeluarkan air matanya. Bupati berjanji akan memperhatikan si Bedas, mulai
membuatkan rumah hingga nanti jika ada jodohnya, resepsi pernikahannya akan
digelar Bupati.
Rasa haru bercampur canda menghiasi suasana mauled kala itu, tak terasa air
mata pun membasahi LCD Handycam yang penulis pegang. Pengalaman yang penuh
tauladan. [soem]
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteNice story. Jikalau masyarakatnya seperti "Bedas" apakah pemimpinnya juga akan menyayanginya laksana anak semata wayangnya?
ReplyDelete"Bedas" tetap punya insting, apa itu? iya "Bedas" akan makan jika merasa lapar.
Meskipun "Bedas" ikhlas (tanpa pamrih), kita seharusnya tetap memperhatikan kebutuhannya karena kita tidak mau "Bedas" itu hilang oleh hiruk-pikuk dan bisingnya kota
Yanto
(085-222-7xx-555)