“Hingar bingar” Pemerintah
Kabupaten purwakarta saat ini dalam memberikan Pelayanan Publik kepada warganya
dalam kemasan Gempungan di Buruan Urang Lembur, tak terlepas dari pengalaman sosok
kang Dedi Mulyadi, dalam menapaki perjalanan jabatannya sebagai bupati di
Purwakarta. selain mengambil peran sebagai sosok “Bapak Pembangunan” karena berbagai
keberhasilannya membangun infrastruktur, baik jalan, jembatan, listrik gratis
bagi warga, air bersih, penataan ruang kota dan berbagai kebijakan
infrastruktur lainnya. sosok kang dedi juga, ternyata lebih terkesan mengambil
peran sebagai “pesuruh” dan “pelayan” yang senantiasa menyempatkan diri untuk
melakukan transformasi informasi dengan rakyatnya sebagai “raja”. Ya, menurut
kang dedi, hakikatnya seorang pemimpin daerah adalah pelayan yang siap sedia
melayani berbagai kebutuhan rakyatnya. Pelayanan yang baik adalah dengan
terlebih dahulu melakukan transformasi informasi, sejauhmana keinginan dan
kebutuhan yang mendesak dari “raja” itu, untuk selanjutnya dicarikan solusi
dengan cara kerja-kerja kongkrit penyelesaiannya. Adapun bentuk transformasi
informasi yang dilakukan kang dedi, yaitu dengan menggelar pertemuan langsung
dengan warga desa, dalam tajuk gempungan di buruan urang lembur, yang digelar
awalnya setiap rabu sore.
Proses perjalanan Gempungan sejak
akhir tahun 2009 hingga saat ini, bagi penulis adalah suatu rekam jejak bupati
yang konsisten dan terencana dengan baik, dimana pada hakikatnya pembangunan yang
baik adalah berawal dari adanya Input kemudian diproses dan dihasilkan output,
namun tidak berhenti pada output saja, tetapi secara jangka panjang memberikan
outcome yang menyeluruh bagi proses pembangunan itu. Inilah yang penulis dapat
simpulkan dari format acara Gempungan di Buruan Urang Lembur yang digagas
bupati. Karena inputnya sudah jelas dapat diambil dari berbagai masukan yang terjadi
dalam transformasi informasi itu, kemudian diproses dan ditindaklanjuti dengan
berbagai pelayanan publik yang terintegrasi antara kebutuhan kependudukan,
kesehatan, KB, Pendidikan, perizinan, peternakan, pertanian dan sebagainya yang
dipusatkan disatu desa. Pada jangka pendek, hal ini akan menghasilkan (output) pengolahan
data kependudukan yang tertib, pelayanan-pelayanan kesehatan, peternakan dan
lainnya yang mudah didapatkan dan gratis. Nah, pada jangka panjang, gagasan
gempungan ini, bagai bayi yang lahir yang kemudian tumbuh dewasa mencipta dan
menelurkan jutaan ide dan mimpi tentang pembangunan yang bersinergi dengan alam
dan lingkungan. Inilah buah akibat dari transformasi informasi yang sejak awal
dibangun bupati, sehingga menelurkan berbagai kebijakan baru, Asuransi Pekerja
Sosial bagi guru ngaji, dukun beranak (Paraji), kader posyandu, RT RW, linmas,
pengurus masjid dan pekerja social lainnya. kemudian kebijakan Asuransi Pekerja
Informal bagi warga yang bekerja selain PNS, TNI, POLRI dan pegawai swasta,
termasuk Wanita Tuna Susila (WTS) sekalipun dilindungi kesehatan dan
kematiannya oleh kebijakan ini. Dan berbagai kebijakan yang senantiasa
memberikan kemudahan dan perlindungan bagi seluruh warga purwakarta.
Untuk membedah dan memberikan
informasi bagi para pembaca, penulis ingin mencoba bercerita mengenai awal
gempungan yang dilaksanakan bupati hingga gempungan-gempungan berikutnya,
sebagai runtutan kegiatan yang berkesinambungan. Sehingga apa yang dapat
penulis simpulkan tentang gagasan bupati terkait gempungan ini, yakni sebagai
perjalanan panjang dari rekam jejaknya yang konsisten dalam mengeluarkan dan
melaksanakan berbagai kebijakan pembangunan yang berpihak pada rakyat, yang itu
semua berdasar pada adanya transformasi informasi yang dibangun dan bersinergi
dengan alam dan lingkungannya.
Cerita tentang gempungan ini kita
awali pada akhir tahun 2009, ide Gempungan di Buruan urang Lembur, dituangkan
bupati saat mengunjungi salahsatu desa yakni desa cikadu kecamatan cibatu. Desa
cikadu merupakan desa paling timur di kabupaten purwakarta dan berbatasan
langsung dengan kabupaten subang. Saat itu, gempungan dikemas hanya sebagai wadah
tempat berkeluhkesahnya warga kepada pemerintah daerah. Ditempatkan disuatu
halaman rumah warga yang luas, warga bisa bertatap muka langsung dengan bupati
serta pejabat pemkab lainnya, termasuk para wakil rakyat. Kegiatannya digelar
pada sore hari. Dalam gempungan tersebut, banyak terserap informasi berbagai
bentuk permasalahan di tingkatan warga di pedesaan, mulai permasalahan jalan
desa, irigasi, persediaan air bersih warga, termasuk berbagai macam persoalan
kesehatan dan masalah social lainnya. pengalaman hari pertama “kegiatan
gempungan”, menyimpan PR bagi pemkab dalam merespon berbagai persoalan itu.
Pada rabu berikutnya, gempungan
digelar di kampung siluman, desa cijunti kecamatan campaka. Lagi-lagi bupati
dipertontonkan dengan berbagai macam persoalan pelik yang dialami warga disana.
Kali ini, bupati lebih melihat permasalahan pribadi dari sosok seorang dukun
beranak, atau Mak Paraji yang sengaja dipanggil mendekati bupati untuk
menceritakan pengalamannya selama membantu proses persalinan warga. Sebagai
seorang “bidan” kampung yang membantu proses persalinan warga yang rata-rata
miskin, mak paraji dengan sukarela membantunya, tak tebang pilih, tak hiraukan
kondisi cuaca, mau hujan mau panas, siang ataupun malam, yang ada dalam pikiran
mak paraji, bagaimana dirinya bisa membantu proses persalinan warga yang
membutuhkan profesinya itu. Karena dirinya meyakini, bagaimana seorang ibu yang
akan melahirkan begitu sangat merasakan sakit yang luar biasa. Kedekatan “rasa”
dan “perasaan” antara Ibu yang melahirkan dengan mak paraji itulah, yang
tergambar dalam pikiran bupati.
Punlebih jauh, jika merunut apa
yang dialami gejolak ikatan ruhaniah dan perasaan yang sama antara mak paraji
dengan Ibu yang melahirkan, seyogyanya hal itu menjadi cermin bagi Pemerintah dalam
mengejawantahkan program dan kebijakannya yang harus menjadi satu kesatuan
ruhaniah antara rasa dan perasaan warga dengan pemilik kebijakan program itu,
yakni pemerintah daerah. Artinya, seberapa dekatkah ikatan rasa yang dibangun
pemerintah yang diwujudkan dalam kebijakan dengan warga sebagai sasaran program
itu. Ikatan ruhaniah antara warga dan pemerintah itulah yang seyogyanya harus
menjadi spirit pembangunan. untuk itu, dalam mendekatkan rasa dan ruhaniah
pemerintah dengan warganya, langkah awal adalah melakukan transformasi
komunikasi ruhaniah yang diwujudkan dalam acara gempungan.
Pendekatan-pendekatan cultural seperti gempunganlah yang harus dilakukan
pemerintah. Artinya, gempungan yang digelar sebagai wadah transformasi
informasi warga kepada pemerintahnya, tidak serta merta sebagai program yang
parsial, yang incidental hanya life service semata pemerintah tanpa ada tindak
lanjut. Tetapi, gempungan pada sore hari itu harus menjadi langkah awal untuk
melakukan program kebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyat yang
didasari ikatan emosial diantara keduanya, bukan sekedar formalitas kegiatan
belaka. Untuk itu, dasar2 informasi yang diperoleh Pemerintah dari warga
melalui gempungan, menjadi prioritas pembangunan yang dirasa objektif untuk
dilakukan pembenahan dan tindak lanjut.
Sisi lain dari program gempungan
pada sore hari itu, adalah pentingnya mempersiapkan generasi muda sebagai
pewaris kehidupan ini yang siap mental dan siap secara ekonomi. Agar kedepan,
negara bisa dibangun oleh piranti-piranti ekonomi rakyat yang mapan dan piranti
ruh etos kerja yang tinggi. Hal inilah yang didapat bupati saat gempungan
minggu ketiga digelar di Desa Mulyamekar kecamatan Babakancikao. Dimana pada
saat itu, bupati memanggil “Si Karna” seorang anak kecil usia 9 tahun, yang
tidak sekolah tetapi semangat hidupnya tinggi. Malah yang lebih menusuk dunia
pendidikan kita, pernyataan polos anak kecil itu, yang lebih memilih “Macul”
atau mencangkul untuk bertani daripada harus sekolah, lebih baik mengisi
hari-harinya menggembala domba dan beternak Bebek, daripada menghabiskan waktu
untuk jajan disekolah. Sungguh pemandangan yang kontras penuh makna, dan tentu
menyimpan cerita unik di benak bupati dan inspirasi yang penting untuk
dijadikan kebijakan lanjutan.
Gempungan selanjutnya terus
berjalan sebagaimana jadwal yang telah ditentukan. Namun penulis dapat menyimpulkan
ada 3 (tiga) hal penting yang itu ternyata direspon oleh bupati dan perlu
ditindaklanjuti. Pertama, berbagai masukan dari warga di acara gempungan terkait
kebutuhan-kebutuhan publik yang mendesak dan perlu segera dilakukan
pemecahannya, baik pemecahan yang sifatnya jangka pendek maupun jangka panjang.
Kedua, pengalaman karier pekerja-pekerja social, seperti mak paraji, Linmas dan
sebagainya ternyata memerlukan perhatian serius bagi pemerintah. Inspirasi mak
paraji sebagai pekerja social yang ikhlas membantu proses persalinan warga,
sehingga melahirkan penyatuan ruhaniah diantara keduanya itu, patut dicontoh
sebagai pondasi penyatuan ruh keberpihakan kebijakan pemerintah pada rakyat.
Dan terakhir, pengalaman-pengalaman unik dan ringan yang dipertontonkan bupati
saat memanggil sosok orang disekitar kita yang dianggap martabatnya rendah, seperti
halnya cerita “si Bedas” pada tulisan lain, dan “Si Karna” seorang anak yang
tidak sekolah itu, justru dari mereka lah kita bisa belajar menghargai
kehidupan ini. Untuk itu mereka perlu segera dimuliakan dan diangkat martabat
kehidupannya. Dari tiga hal inilah, kemudian gempungan melahirkan ide-ide baru
bagi bupati dalam mengambil kebijakan.
Yang pertama, dari alur
perjalanan gempungan di buruan urang lembur dari awal dalam bingkai “cuap-cuap”
warga kepada pemerintah itu, lambat laun menemukan titik terang sebagai
rangkaian perjalanan kebijakan pelayanan publik yang tepat sasaran dan langsung
diterima masyarakat. sebab dalam perjalanannya, melalui gagasan bupati yang
terilhami gempungan sore hari itu, gempungan berikutnya dilengkapi dengan
fasilitas pelayanan pemerintah yang langsung kepada warga masyarakat, yang
dilaksanakan pada pagi hari. pelayanan itu, sementara waktu bisa menjadi “obat
penahan sakit” dalam menjawab persoalan yang muncul dimasyarakat. Pelayanan
dalam tajuk gempungan di buruan urang lembur ini, merupakan outcome dari
transformasi komunikasi pemerintah dan warga, dimana pelayanan itu merupakan
sinergitas peran dan fungsi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dalam memberikan
pelayanan langsung kepada masyarakat. adapun pelayanan yang disuguhkan dalam
gempungan tersebut, meliputi pelayanan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil (DISDUKCAPIL) yakni, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Kelahiran
dan Kartu Keluarga (KK) Gratis bagi warga, pelayanan oleh Dinas Kesehatan
meliputi Pengobatan Gratis, Sunatan Massal Gratis, pelayanan oleh Badan
Keluarga Berencana Perlindungan Ibu dan Anak (BKBPIA) meliputi pelayanan
Pemeriksaan Ibu Hamil menggunakan USG, pelayanan untuk peserta KB baru,
pemeriksaan peserta KB, baik suntik, Pil, Implant ataupun IUD. Pelayanan oleh
DInas Peternakan dan Perikanan (Disnakkan) meliputi pemeriksaan kesehatan hewan
ternak, proses kehamilan buatan melalui Inseminasi Buatan, pemberian hewan
ternak yang biasanya diberikan kepada orang yang dipanggil kedepan saat
gempungan hiburan di malam hari digelar. Pelayanan oleh Badan Penanaman Modal
dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) meliputi perizinan terbatas seperti
Surat Izin Usaha Perseorangan (SIUP) bagi para pedagang kecil. Pelayanan oleh
Unit Pelayanan Teknis Daerah Cabang (UPTDC) PMI Purwakarta yakni Donor Darah.
Pelayanan Kantor Perpustakaan Daerah dengan menggelar Perpustakaan Keliling
untuk meningkatkan minat baca warga, serta berbagai pelayanan lainnya.
Sementara pada malam harinya, digelar transformasi informasi antara pemerintah
dengan masyarakat sebagaimana tujuan awal dari gempungan, namun pada malam hari
kemasannya semacam pagelaran yang menampilkan hiburan, music, seni tari dan
bintang tamu pelawak. Hal ini untuk melestarikan seni tradisi sunda tari
jaipong, seni music sunda, dan mengemas informasi dari pemerintah, yang
disuguhkan dalam lawakan, agar dapat memberikan hiburan dan dapat dicerna
oleh masyarakat yang hadir. Malah pada
awal 2012, gempungan pada malam hari menampilkan pula kesenian wayang golek
yang dipadankan dengan seni wayang suket yang berasal dari solo. Kolaborasi
pagelaran ini, menambah makna yang terkandung dalam pelestarian adiluhung
budaya indonesia, sebagai perjalanan panjang metamorphosis simbolistik budaya
dalam bentuk seni.
Keseluruhan dari integrasi
pelayanan publik pada pagi hari itu, ternyata mampu menjawab beberapa
persoalan, hal ini dapat dilihat dari kenaikan grafik masing-masing pelayanan.
Dari data kependudukan yang semakin tertib, dimana setiap orang telah mempunyai
KTP untuk wajib KTP, termasuk yang lebih mencolok adalah tingkat kepesertaan KB
warga yang loncat jauh keatas, sehingga memposisikan Purwakarta sebagai
Kabupaten peringkat pertama dalam kenaikan tajam kepesertaan program KB secara
nasional. Pelayanan publik yang berkaitan langsung dengan data kependudukan,
yakni pembuatan KTP, Kartu Keluarga dan Akte Kelahiran secara gratis di acara
Gempungan ini pula, telah melahirkan gagasan baru bagi bupati, yakni pelayanan
kependudukan yang berbasis di kantor desa secara jaringan online seluruh
wilayah purwakarta. Bupati melihat, pelayanan kependudukan yang selama ini
dilakukan di kantor kecamatan dan tidak online, merupakan kedzhaliman bagi
rakyat dan kebekuan proses pembangunan. Rakyat disusahkan dengan hanya proses pembuatan
identitas kependudukannya, belum lagi harus bayar dengan proses waktu yang
lama. Untuk itu, bercermin dari realita yang terjadi di gempungan, bupati
melakukan terobosan kebijakan pelayanan publik yang baru, yakni pelayanan KTP,
Kartu Keluarga dan Akte Kelahiran berbasis di kantor desa dengan sistem
jaringan online ke dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil)
sebagai leading sector masalah ini, dan dengan proses pelayanan yang cepat hanya
memakan waktu 5 menit langsung jadi.
Pada kondisi yang kedua, yakni
ketika menyaksikan para pekerja social, mereka kerja tanpa pamrih, tanpa
pendapatan yang jelas, tak mengenal waktu, siang, malam ataupun kondisi cuaca
yang tak menentu, tapi yang ada dipikirannya adalah kerja-kerja ikhlas. Pengalaman
mak paraji ketika di gempungan kampung siluman desa cijaya campaka adalah
salahsatu bukti, masih banyaknya para pekerja social yang ikhlas yang
membutuhkan perlindungan dari tangan pemerintah. Untuk itu, gagasan pun muncul
mengenai kebijakan melindungi seluruh para pekerja social ini dengan penyertaan
asuransi kesehatan dan kematiannya. Hampir 14 ribu lebih pekerja social yang
ada di purwakarta, meliputi Guru Ngaji, Dukun Beranak (Paraji), Anggota Linmas,
Ketua RT, RW, Aparatur desa, Imam Masjid, kader Posyandu serta lainnya, sejak
2011 lalu sudah diasuransikan pemerintah daerah melalui PT. JAMSOSTEK. Inilah
bukti kongrit, kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Kebijakan ini pula yang
memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa seharusnya kebijakan pemerintah
bukan pada bagaimana besarnya Bantuan Langsung berupa uang, karena itu bisa
mematikan kreatifitas masyarakat, Bantuan langsung hanya melahirkan rakyat yang
malas tanpa etos kerja. Tetapi jika bantuan dan kebijakan pemerintah berupa
perlindungan menyeluruh atas kesehatan dan kematian rakyatnya, tanpa mengganggu
hak privat ikhtiar usaha dan kariernya masing-masing, bisa dirasakan inilah
kebijakan yang lebih bermanfaat secara jangka panjang. Tak hanya berhenti pada
asuransi pekerja sosial, tetapi pada awal 2012 lalu, para pekerja informal pun,
didaftarkan sebagai peserta asuransi PT. JAMSOSTEK untuk perlindungan kesehatan
dan kematiannya. Adapun pekerja informal adalah mereka yang bekerja diluar PNS,
TNI, POLRI dan pegawai perusahaan swasta, yakni mereka adalah buruh tani,
petani, pedagang, tukang becak, tukang ojek, sopir angkutan umum, hingga WTS
sekalipun, dengan jumlah lebih dari 70 ribu peserta dengan tanggungan satu
peserta membawa Suami/Istri dan 3 orang anak. Artinya sebenarnya, secara umum
penyertaan asuransi di wilayah kabupaten purwakarta adalah seluruh warga yang
tercatat berdomisili di kabupaten purwakarta, dan ini yang pertama di
Indonesia, asuransi rakyat di suatu daerah kabupaten yang warganya
diasuransikan.
Dan yang terakhir, menyangkut
pengalaman unik bupati saat memanggil orang untuk diperdengarkan pengalaman
hidupnya, yang rata-rata mereka adalah anak kecil. Rupanya telah menyimpan
segudang keinginan bupati untuk memuliakan mereka. Karena biasanya mereka yang
dipanggil adalah orang yang secara strata social berada pada kemiskinan dengan
berbagai latarbelakang masalah keluarga yang cukup pelik. Misalkan, pengalaman
gempungan di Desa Cirangkong Kecamatan Cibatu yang memunculkan nama Ahmid (si
Bedas) yang telah dibahas dalam tulisan lain, telah melahirkan Ahmid baru yang
tampil sebagai pemuda ulet, etos kerja yang tinggi, sebagai tukang kuli pikul
bagi warga disekelilingnya, dengan bekal 5 ekor domba yang diberikan bupati
saat gempungan. Dan ahmid pun ternyata telah menjadi pemuda yang amanah, dimana
5 ekor domba yang ia dapatkan sebagai bekalnya itu, 6 bulan kemudian telah
beranak pinak menjadi 11 ekor domba.
Cerita lain, tentang “Si Karna”
pun tidak kalah nilai Ibrahnya (pelajaran) yang patut diteladani. Ya, setelah
“Si Karna” diberikan 3 Ekor Domba dalam gempungan 2 tahun lalu itu, kini
dombanya beranak pinak menjadi 10 ekor, sebagian sudah dijual, untuk bekal “Si
Karna” yang telah “Memproklamirkan” diri bersekolah. Informasi yang terakhir
yang didapatkan, saat “Si Karna” dipanggil lagi bupati, dalam acara syukuran 4
tahun jabatan bupati 13 Maret 2012 lalu yang digelar secara sederhana di rumah
dinas Bupati. “Si Karna” telah nampak dewasa, usia 13 tahun yang terbilang tua
bagi seumuran anak kelas 3 di Sekolah Dasar Negeri 2 Mulyamekar Babakancikao
ini, tidak ia sia-siakan. Dengan bekal dombanya untuk biaya ongkos ke sekolah,
kini ia menatap masa depannya dengan bekal seekor sapi dewasa yang siap
melahirkan, hasil dari pergantian ternak dombanya dulu. Sungguh telah
membangkitkan gairah hidup bagi siapapun yang bisa meneladani dan mencermati
sejengkal demi sejengkal pengalaman sosok kang dedi mulyadi. Seluruhnya
pengalaman tersebut, telah menjadi Ibrah dengan melahirkan jutaan ide dan
gagasan baru dalam menapaki di 4 tahun jabatannya sebagai Bupati Purwakarta.
Namun cerita tak selalu indah diakhir seperti yang
dialami bupati tentang si Karna dan si Karna yang lainnya. Cerita lainnya telah
menyisakan kesedihan mendalam bagi bupati. Inspirator bupati dalam melahirkan
gagasan dan kebijakan tentang perlindungan dan jaminan asuransi kesehatan dan
kematian bagi pekerja social maupun informal, yakni seorang Janda Tua yang
berprofesi sebagai mak paraji (dukun beranak) yang ditemui bupati saat
gempungan di kampung siluman desa cijunti kecamatan campaka lalu, kini telah
meninggalkan dunia ini terlebih dulu, tanpa sempat merasakan santunan asuransi
pekerja social dimana dirinyalah yang menginspirasi kebijakan itu.
“Lampah Alam Nu Katukang…
Jibred Endah Hihinaan….
Hujan Angin Dilakonan…
Mipir Gawir Nyorang Jurang…
Leutik Tangtung Hate Jangkung…Anjeun
Bela Bibilasan….
Kiwari Anjeun Rek Miang….
Muru lembur Pangbalikan….
Ninggalkeun Rasa Kamelang….
Rengkak Anjeun Narembongan…Endah Seuri
Ngajauhan….
Demikian penggalan syair lagu sunda yang dituangkan bupati untuk
mengenang almarhumah mak paraji itu, dimana syair lagu diatas didendangkan
penyanyi grup music EMKA 9, saat acara gempungan digelar kembali di desa
cijunti campaka, sebulan setelah meninggalnya mak paraji. Sungguh pemandangan
yang mengharukan. Air mata pun tak terasa berlinang diantara bidikan kamera
yang penulis fokuskan kearah panggung gempungan, “semoga Allah menempatkan mak
paraji pada tempat yang mulia disisi-Nya, karena saya yakin mak paraji adalah
orang yang sangat mulia, mulia hatinya, mulia pekerjaannya, dan mulia dimata
saya,” demikian ungkap bupati mengakhiri pagelaran panggung gempungan di desa
cijunti kecamatan campaka saat itu, yang diamini para warga yang hadir. [soem]