Saya Cemburu Pada “Emi” (Bagian-1)
Sebuah judul yang
Idiom, atas realita dan nilai filosofi historis pembangunan yang dilakukan kang
dedi mulyadi sebagai bupati di purwakarta. Kata “cemburu” pada judul diatas
bukan mengandung arti negatif atas sikap penulis terhadap “Emi” sebagai sebutan
akrab kang dedi terhadap Ibundanya Almarhumah Ibu Carsiti. Lalu ada hubungan
apa antara Penulis sebagai tim dokumentasi bupati, dengan Almarhumah “Emi”
Carsiti atas pembangunan selama ini yang dilakukan kang dedi mulyadi dalam
memangku jabatannya sebagi bupati purwakarta. Sehingga penulis menaruh
perhatian pada diri “Emi” Carsiti yang menyimpulkan mengidiomkan sikap penulis
sebagai rasa “Cemburu” terhadapnya. Alhasil dari sikap “Cemburu” penulis ini,
diharapkan memberikan ruh ghirah (semangat) bagi penulis termasuk para pembaca,
agar bisa seperti figur “Emi” dalam pikirannya bupati. Figur “Emi” dalam hal
ini adalah sikap dan pikiran-pikiran “Emi” dalam membesarkan dan menghidupi 9
anaknya termasuk bupati, walau dalam kondisi ekonomi keluarga yang serba
terbatas. Mungkin sikap dan pikiran “Emi” inilah yang terus membekas dalam
ingatan kang dedi, yang atas dasar itu menjadi sebuah spirit kang dedi dalam membangun
di Kabupaten Purwakarta tercinta ini.
Kesimpulan dari
pengambilan judul diatas, tak terlepas dari proses perjalanan pemikiran kang
dedi mulyadi dalam memaknai pembangunan yang dilakukannya selama ini, yang
merupakan pengejawantahan dari sikap dan pemikirannya atas sosok Ibundanya
“Emi” Carsiti. Bukan hanya berhenti pada pemikiran saja, berbagai langkah yang
diambil terkait mewujudkan pembangunan yang dilakukannya di Purwakarta,
ternyata banyak belajar dari figur sang Ibunda tercintanya “Emi” Carsiti.
Pelajaran Pertama dari Emi
Salahsatu contoh
kongkrit dari langkah pembangunan yang merupakan manifestasi “Emi” Carsiti yang
dilakukannya adalah Langkah kebijakan paling awal yakni reformasi pengelolaan
keuangan APBD Purwakarta yang ada tanpa memperhitungkan Pendapatan. Artinya,
Pendapatan Asli Daerah (PAD) bukan menjadi tolok ukur pertama dalam membantu keuangan daerah yang berkaitan dengan mengeluarkan kebijakan pembangunan untuk rakyat. Tetapi kondisi APBD
secara umum yang ada pada saat itu, dilakukan reformasi anggarannya. Reformasi
anggaran tersebut dengan lebih banyak melakukan pemangkasan-pemangkasan anggaran pada
pos-pos anggaran untuk belanja kantor dan belanja pegawai, sementara hasil
pemangkasan pada pos anggaran belanja kantor dan belanja pegawai itu, dimasukan
pada pos belanja publik.
Berbagai
pemangkasan anggaran pada belanja kantor dan pegawai bisa kita lihat pada kode
rekening untuk pengadaan Alat Tulis Kantor yang dipangkas sekecil mungkin,
belanja kertas, belanja untuk bayar telephon, membayar listrik di sekretariat
daerah, belanja untuk membayar media cetak koran dan elektronik dipangkas,
belanja untuk operasional kendaraan dinas, dan berbagai belanja kantor yang
tidak terlalu penting manfaatnya secara keseluruhan dipangkas sekecil mungkin.
Kemudian pada pos anggaran belanja dinas pegawai, termasuk perjalanan dinas
dipotong, honorarium kegiatan ditiadakan, dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya
pelatihan kepegawaian pun tak lepas untuk dipangkas anggarannya. Seluruhnya
hasil pemangkasan pada pos anggaran belanja kantor dan anggaran belanja pegawai
itu, didapatkan anggaran yang maksimal untuk dimasukan pada belanja publik.
Kesimpulan pada langkah kebijakan awal ini, adalah seberapa pun anggaran yang
ada, seyogyanya dimanfaatkan pada prioritas pembangunan yang memang dibutuhkan
untuk rakyat.
Inilah filosofi
pembangunan pertama kali yang kang dedi dapatkan dari Ibundanya. Seperti cerita
masa kecilnya yang sempat ia
sampaikan dalam beberapa kesempatan dan itu penulis dokumentasikan dengan baik.
salahsatunya adalah kesempatan memberikan sambutan pada acara maulid Nabi
Muhammad SAW yang digelar Ibu-ibu Pengajian AlHidayah Kecamatan Bojong pada
musim maulid 1433 H (tahun 2011). Dalam kesempatan itu, kang dedi membeberkan
pengalaman masa kecilnya yang syarat dengan nilai kultur masyarakat dan
berkaitan dengan kebijakan yang diambilnya dalam mengelola keuangan pemerintah
daerah. Ceritanya, pernah suatu ketika beliau yang anak bungsu di keluarganya
ini, yang saat itu masih berusia 5 tahun, diajak Ibundanya pergi ke undangan
pernikahan tetangga. Suasana tempat hajatan tentu sangat riuh dengan para
undangan termasuk adanya beberapa pedagang jajanan anak. Dedi kecil menangis
dan menginginkan balon saat melihat balon dijajakan pedagangnya. Ibundanya tak
langsung marah, mensiasati anaknya agar mengurungkan niatnya untuk membeli
balon dengan beralasan bahwa nanti penjual balon masih ada di pertigaan jalan.
Lalu dedi kecilpun menuruti perkataan Emi nya, berharap dapat dibelikan balon
di pertigaan jalan nanti. Lagi-lagi dirinya harus mendapatkan kekecewaan, atas
apa yang dijanjikan Emi nya saat berada di pertigaan jalan dan sepanjang jalan
menuju rumahnya. Dimana Ibundanya bukan membelikan dedi balon, malah berkelit
mencari-cari alasan agar dedi urung untuk memiliki balon. Yang namanya seorang
anak kecil, dedi pun tak serta merta menerima alasan yang dilontarkan Emi nya.
Tangisan pun menggelegar tatkala sampai rumah, balon yang dijanjikan, tak
kunjung dibelikan.
Dari kisah ini, dirinya paham betul maksud Ibundanya, dan yang paling
berkesan dalam ingatannya saat Ibundanya dengan sabar menasehati dedi kecil
yang sedang menangis itu dengan argumentasi yang lugas, “Ded, sanes Emi alim meser balon. Upami artos ieu dipeserkeun balon, engkin
si Teteh moal tiasa sakola (Ded, bukannya Emi tidak mau beli balon. Kalau
uang ini dibelikan balon, nanti kakak kamu tidak bisa sekolah)”, sederhana dan
tentu tajam maknanya.
Hingga berkali-kali, dari satu panggung ke panggung acara lainnya, kang
dedi selalu memberikan spirit pengelolaan keuangan di Kabupaten Purwakarta
dengan kisah masa kecilnya ini. Artinya betapa pentingnya pengalaman itu bagi
dirinya dalam mengelola anggaran di Pemkab Purwakarta. spirit tersebut, adalah
mengelola anggaran Pemerintah Daerah tak ubahnya dengan mengelola keuangan
rumahtangga dalam sebuah keluarga. Prinsip yang paling penting adalah,
pengelolaan keuangan itu harus bisa mementingkan dulu kebutuhan setiap anggota
keluarga, dengan berdasar pada skala prioritas kepentingannya. Sekiranya
pengeluaran untuk sesuatu itu tidak terlalu penting, maka cukuplah pengeluaran
itu untuk hal-hal yang lebih penting terlebih dahulu.
Pada cerita ini pula, Kang Dedi memaknai betapa pentingnya pengorbanan
seorang pemimpin suatu keluarga dalam hal ini sosok Ibu, agar para anggota
keluarga (anak-anak)-nya dapat menatap masa depannya dengan semangat dan
potensi dari diri anak-anak itu, tanpa harus memikirkan beban resiko ekonomi
yang dihadapinya. Biarkanlah pemimpin yang menanggung seluruh resiko biaya
ekonomi itu, asalkan anggota keluarganya, asalkan rakyatnya dapat hidup tenang,
damai tanpa takut suram masa depannya. Pemimpin harus bisa seperti figur Ibu,
Emi yang selalu mendahulukan makan anak-anaknya, walau dirinya harus gigit jari
melihat lahapnya anak-anak makan. Ibu yang harus selektif setiap pengeluaran
yang dibutuhkan dalam keluarga, walau pemasukan dari sang ayah tak terlalu
besar. Pada kondisi yang demikian itu, maka dibutuhkan figure Ibu yang harus
menyebarkan rasa Cinta pada anggota keluarganya. Rasa cinta yang menumbuhkan
sikap selektif dalam pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan yang lebih penting.
Pelajaran Kedua Dari Emi
Masih tentang cerita singkat kang dedi pada masa kecilnya itu. Ternyata,
bagi dirinya cerita itu menyimpan rasa cinta yang amat mendalam dari sosok Emi.
Rasa cinta Emi yang memberikan pelajaran berharga, bahwa Cinta sejatinya bukan
untuk memanjakan objek yang kita cintai. Cinta bukan sekedar memberikan balon
agar orang yang kita cintai bisa menghapus air matanya. Tetapi cinta seyogyanya
harus memberikan penghargaan pada proses, cinta dihadirkan pada saat-saat sulit
sekalipun. Emi yang begitu sangat mencintai 9 anaknya, tak serta merta
mencurahkan cintanya dengan memanjakan anak-anaknya. Cinta Emi tak serta merta
dengan membelikan balon agar dedi kecil berhenti menangis.
Tapi cinta Emi, adalah anugerah yang paling berharga bagi kang dedi
dalam ikhtiar dan proses yang beliau lakukan sejak kecil hingga saat ini.
Ikhtiar dirinya untuk menggembala domba dari cincin yang dijual Ibundanya. Dan
cinta Emi pun hadir dalam proses pembangunan yang sedang dilakukannya di
Purwakarta tercinta ini. Cinta Emi yang hadir saat ini, adalah pelajaran
menghargai proses. Kebijakan perlindungan jaminan asuransi kesehatan dan
kematian bagi warga di Purwakarta, adalah salahsatu Cinta Emi menghargai proses
anak-anaknya. Pun begitu, kang dedi sangat mencintai warganya dengan
mengekspresikan cintanya melalui kebijakan perlindungan asuransi kesehatan dan
kematian bagi warga. Cinta kang dedi kepada warganya bukan dengan memanjakan
warga melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan semacamnya misalkan. Karena jika
yang dilakukan itu, berarti kang dedi tidak menghargai ikhtiar dan proses warga
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang ada, warga dimanjakan dengan nilai uang
yang diberikan langsung. Lambat laun, etos kerja warga akan terkikis habis
menjadi kemalasan-kemalasan, sebab nilai ikhtiarnya sudah digantikan dengan
bantuan langsung tunai dan semacamnya. Inilah cinta yang salah kaprah
menurutnya, dan tidak sesuai dengan cinta Emi yang beliau dapatkan.
Sementara jika yang diambil adalah kebijakan asuransi perlindungan
kesehatan dan kematian bagi warga, disini kang dedi sangat menghargai proses
yang dilakukan warganya. Artinya, cinta kang dedi tidak serta merta
mengintervensi ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan rakyat. Silahkan rakyat menikmati
proses bekerjanya dalam memenuhi kebutuhan rumahtangga di keluarganya,
sementara pemerintah memberikan kenyamanan lebih, bagi rakyatnya dalam bekerja
dengan jaminan kesehatan dan kematiannya. Rakyat tidak lagi dihantui rasa takut
akan sakit dan mati, karena 2 hal ini adalah diluar jangkauan manusia. Yang
penting bagi kita adalah harus terus bekerja dan berproses. Sekiranya saat
musibah datang, sakit atau meninggal, keluarga dapat terbantukan dengan biaya
perawatan dan pengurusan jenazah melalui klaim asuransi dari program
perlindungan ini.
***Bersambung***